51. Saatnya Berpisah

310 33 3
                                    

Saat ini gue sedang membantu kak Jaehyun menyiapkan baju-baju dan keperluan lainnya untuk dibawa ke Batam besok pagi. Menyiapkan dua pasang sepatu buat jaga-jaga, menyiapkan baju, celana, kaos biasa untuk tidur, dan hal lainnya yang bisa gue bantu siapkan. Sedangkan kak Jaehyun sibuk memilah dokumen mana yang harus ia bawa. Meskipun hanya menghadiri acara seminar, tapi katanya tetap ada dokumen yang harus dibawa untuk diperlihatkan pada pihak panitia disana, bahwa mereka ini—tiga dosen yang jadi perwakilan merupakan delegasi yang dikirim oleh kampus.

Selesai dengan keperluan keseharian, gue tutup koper berwarna hitam ini dan gue letakkan di pojok kamar. Lalu berjalan ke ruang kerja dimana kak Jaehyun berada. Saat memasuki ruang kerja kak Jaehyun baru saja menutup tas ranselnya dan menaruhnya di atas meja, tanda dia juga sudah selesai bersiap.

"Udah?" Tanya gue.

"Udah,"

"Dipastiin jangan sampai ada yang tertinggal,"

"Udah, sayang,"

Gue berjalan mendekat kearah kak Jaehyun, duduk di sampingnya yang tengah duduk di sofa. Tatapan mata gue sendu dan merasa ada yang hilang. Jujur, gue memang nggak pengen kak Jaehyun pergi. Batam memang masih kawasan Indonesia, tapi itu jauh. Dan tiga hari, oke, gue harus sabar.

"Kenapa sih, hm? Dari kemarin cemberut terus bawaannya," kak Jaehyun mengusap lengan gue.

"Tiga hari ke depan pulangnya pagi atau malam?"

"Malem,"

"Huft...yaudah aku bobo di rumah mama ya selama kak Jaehyun pergi. Aku nggak mau tinggal sendiri,"

"Iya. Besok aku anter kamu ke rumah mama deh,"

"Terus ke bandaranya?"

"Aku titip mobil di rumah kamu cukup nggak garasinya? Udah ada dua mobil kan punya papa sama kakak kamu,"

"Bisa. Nanti di parkir di halaman aja nggak masuk garasi. Aman kok kan ada gerbangnya. Terus besok naik taksi?"

"Iya. Yaudah ayo tidur. Besok aku harus bangun pagi,"

Gue mengangguk lesu. Sedangkan kak Jaehyun malah terkekeh kecil membuat gue semakin cemberut. Nggak tau apa gue lagi galau.

Setelah baringan di kasur, kak Jaehyun yang masih berdiri mematikan lampu terlebih dahulu baru setelahnya ikut naik ke kasur. Menarik selimut sampai batas dada lalu memejamkan matanya. Gue masih melek, sembari bermain dengan menelusuri setiap sudut wajahnya menggunakan telunjuk. Merasa terusik mungkin, kak Jaehyun kembali membuka matanya lalu memiringkan badannya hadap ke gue.

Tangannya meraih kepala gue untuk ia dekap erat sampai rasanya sesek karena sulit bernafas.

"Nggak bisa nafas,"

Mendengar ucapan gue kak Jaehyun langsung melonggarkan pelukannya. Tapi tangannya masih melingkar di leher gue. Emang gue apaan di piting kepalanya. Tapi gue nggak berontak, malah gue ikutan meluk tubuh kak Jaehyun.

"Selama aku pergi jangan nakal. Makan yang bener, susunya diminum teratur, kalau capek nugas atau nyusun skripsi istirahat dulu jangan di paksa. Setiap malem aku usahain video call kamu,"

"Beneran cuma tiga hari kan?" Tanya gue yang mungkin bikin kak Jaehyun gemes dengernya. Karena gue tanya kayak gitu udah lebih dari lima kali hari ini.

"Hm,"

"Kakak juga makan yang bener, kalau capek nggak usah dipaksa buat telpon aku,"

"Gaya! Entar galau,"

"Ishh!" Gerutu gue karena iya ucapannya bener. Sekarang aja udah galau.

"Kak Jaehyun..."

"Apa, Ira??"

FATUM • [Jaehyun] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang