8. Sebuah Pernyataan

334 38 1
                                    

Setelah acara pernikahan selesai kira-kira jam 3-an tadi, gue langsung diboyong ke rumah kak Jaehyun. Dari gedung pernikahan tadi, gue nggak lagi pulang ke rumah. Melainkan langsung pulang ke rumah kak Jaehyun. Rasanya aneh, canggung, dan nggak nyaman. Tau sendirilah gue nikah sama kak Jaehyun karena paksaan orang tua, bukan karena kita sendiri yang pengen nikah dan punya rasa. Bahkan kita kenal aja enggak, ini disuruh hidup bersama dalam jangka waktu seminggu untuk tahap saling mengenal.

Begitu sampai di rumah kak Jaehyun tadi, papa kak Jaehyun lah yang sangat bahagia. Gue bisa merasakan kebahagiaan beliau kok, di kondisi sakit seperti itu melihat salah satu keinginannya terkabul sudah lebih dari cukup baginya. Setidaknya ketika beliau memang harus pergi suatu saat nanti, tidak akan begitu merasa menyesal dan kecewa. Gue nggak lagi mendoakan papa kak Jaehyun cepet mati, tapi kita sebagai makhluk biasa nggak bisa meramalkan masa depan kan?

Nggak cuma papanya kak Jaehyun, kak Shinta juga menyambut gue dengan ramah, bahkan dia yang bantu gue buat menata barang-barang gue di kamar gue nantinya, kamar kak Jaehyun maksudnya. Dan siapa yang penasaran pria yang bersama kak Shinta saat di pernikahan gue tadi, dia adalah kekasih kak Shinta. Mungkin, kalau Mas Doyoung mau nikah dan gantiin gue kak Shinta akan berakhir seperti gue. Rela putus sama pacar demi mengabulkan permintaan papanya.

Mungkin gue belum terlalu paham dengan sifat dan karakter dari masing-masing orang di rumah ini, yang sudah menjadi keluarga baru gue. Tapi kalau boleh menyimpulkan, masing-masing dari mereka mempunyai sifat yang berbeda-beda. Ya namanya juga manusia, setiap individu pasti punya karakter yang berbeda. Diantara semua keluarga kak Jaehyun, mama kak Jaehyun yang paling sulit gue tebak. Kadang dia bisa baik, tapi tampangnya yang cuek dan terkesan dingin pun bikin gue agak insecure.

Tapi mereka adalah keluarga gue yang baru sekarang. Mau nggak mau, cepat atau lambat, gue harus bisa menerimanya.

Dan soal kak Jaehyun, dia masih sama sikapnya. Dingin. Bahkan setelah tadi sampai di rumah dia sama sekali nggak ngomong sama gue. Gue jadi mikir, apa bisa gue betah tinggal bareng sama orang seperti itu. Bayangin aja rasanya sesek, pengen nangis bawaannya kalau emang kita berdua nggak bisa saling terbuka dan hidup sebagaimana pasangan suami istri pada umumnya.

Sekarang udah malam, makan malam juga udah dari tadi selesai. Gue masih duduk di kursi meja makan sendirian, sedangkan kak Jaehyun nggak tau dia kemana. Dikamar mungkin. Tiba-tiba aja, ada kak Shinta yang ikut duduk di samping gue.

"Ira, kamu kenapa? Canggung ya?"

"Kak Shinta," gue senyum sambil menunduk.

"Maafin kakak ya, Ra. Coba aja kalau kakak kamu mau nerima tawaran papa, pasti kamu masih bisa bebas menikmati hidup kamu sebagai seorang anak remaja,"

"Aku cuma pengen bantu papa, kak,"

"Jaehyun itu orangnya keras kepala. Tapi dia aslinya baik kok. Cuma kalau sama orang yang belum ia kenal betul emang gitu sikapnya, dingin. Kamu sabar aja, cinta bisa tumbuh karena kebiasaan kok,"

Statement itu udah banyak gue denger dari siapa aja. Orang yang nggak saling cinta, kalau terus bersama mereka pasti bisa menerima dan saling mencintai. Percaya nggak percaya sih, soalnya gue belum pernah mengalaminya. Kalau memang statement itu benar adanya, ya alhamdulilah. Kalau enggak, gue bisa apa?

"Semoga aja ya, kak," gue cuma bisa respon seperti itu.

"Yaudah, kamu tidur gih. Pasti capek kan tadi berdiri terus. Jaehyun paling udah di kamar duluan,"

"Iya, kak. Makasih,"

Kak Shinta meninggalkan gue yang masih duduk termenung di meja makan. Rasanya berat banget buat cuma masuk kamar aja. Malam ini, malam pertama gue bakalan tidur bareng seorang pria. Pria yang sudah resmi menjadi suami gue.

FATUM • [Jaehyun] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang