"Selamat Pagi!!" Sapa Vanya yang sudah sekolah lagi.
"Pagi." Jawab teman sekelasnya yang sudah datang.
"Pagi." Ruben menutup mata Vanya dari belakang. "
"Ruben."
"Kamu tahu aja?" Ruben melepas dekapannya. "Kamu sudah benar-benar pulih atau bosan di rumah sakit?"
"Kata dokter aku sudah boleh pulang dan aku memang bosan di rumah. Aku lebih suka kau yang mengacak rambutku dari pada bantal rumah sakit. Dan aku rindu aroma minyak wangimu ketimbang pengharum ruangan kamar Rumah Sakit yang justru membuatku mual."
Aku bahkan seperti orang gila tanpamu di sini.
"Aku masih boleh duduk sama kamu?"
"Kenapa enggak?"
"Kamu mau temenin aku sarapan? Aku bawa bekal, sampai obatnya habis aku enggak boleh telat makan. Kamu harus jadi satpam aku, bersedia?"
"Bersedia." Dengan senang hati!
"Vanyaaaa kau sudah masuk?" Teriak Anggun ketika melihat Vanya sudah duduk dipojokan. Vanya hampir tersedak saat menelan buburnya mendengar teriakan Anggun. "Aku pikir minggu ini kami akan kesepian lagi tanpamu."
"Aku enggak kuat bed rest, itu malah bikin aku semakin sakit."
"Makanya jangan nakal, kau harus bisa dikasihtau, tubuh dan otak kan juga butuh istirahat bukan melulu harus diporsir sesuai ego kita."
"Aku sudah tebus di Rumah Sakit selama lima hari."
Anggun dan Vanya tertawa.
"Oh kau rupanya sudah sekolah gadis asing?" Sapaan pagi yang ketus dari Dinda ketika dia baru saja berdiri di depan pintu. "Kelas ini nyaman sekali tanpamu kemarin!"
"Jangan kau hiraukan dia, dia bukan tandinganmu."
"Tapi Ben, dia selalu menyudutkan aku."
"Semua tahu kalau dia membencimu, wajar kalau dia bilang begitu."
Vanya menatap Ruben. "Kalau aku enggak kasih dia pelajaran hari ini dia pikir aku takut, apa kamu akan terus bersamaku seperti ini setiap kali dia tekan aku?"
Ruben menelan ludahnya. "Kau tidak perlu bertanya hal yang sudah kau tahu jawabannya." Jawaban Ruben mengalihkan tatapan Vanya. "Habiskan buburmu."
Anggun mencatat percakapan dua sahabatnya. Ia hanya diam.
Semua berawal dari persahabatan. Aku dan Vanya memang punya kedekatan yang berbeda dibandingkan dengan yang lain. Kami bisa mengerti tanpa saling mengungkapkan. Vanya tidak pernah cerita tetapi aku tahu kalau dia memiliki rahasia dan aku tahu dia berpikir aku masih mencintai Vanya. Kami sama-sama tahumemporsikan diri tentang privasi dan prinsip yang sejalan sehingga ada saling menghargai ketika kami mulai masuk ke zona merah. Kami tidak menuntut lebih dari kedekatan ini. Kicauan tentang status kami seperti kafilah berlalu.
***
"Kamu janji mau jadi satpam aku kan?" Vanya menarik Ruben supaya cepat sampai di kantin. "Aku mau makan soto ayam tanpa kecap dan sambal, aku sudah bawa botol minum jadi kamu tidak perlu pesankan aku es teh manis."
"Cerewet."
"Aku kangen soto ayam. Makanan di Rumah Sakit enggak enak."
Ruben mengacak rambut Vanya.
Siang ini Tujuh Sahabat makan siang bersama di kantin. Posisi mereka selalu sama, Vanya, Anggun dan Mutia berhadapan dengan Ruben, Johan, Bayu dan Alfa.
"Mut."
"Yah Va?"
"Enggak ada yang kamu mau omongin gitu sesuatu yang penting?"
Keceriaan tiba-tiba redam.
"Maksudnya?"
"Kita enggak kenal sehari dua hari Mut. Aku merasa ada sesuatu yang kamu mau tanya tapi kamu rahasiain. Ada apa?"
Mutia menatap Ruben dan Alfa.
Ruben membalas tatapan Mutia dengan mengkodekan jangan. Sedangkan Alfa memilih menahan nafas.
"Mut."
"Soal kamu bikin geger satu sekolah karena pingsan di kantin karena sebelumnya kamu ngotot ikut ambil nilai lari?"
Vanya menggeleng. "Bukan itu."
"Jadi?"
"Mut, jangan rahasiaan sama aku."
Mutia menarik nafas panjang.
"Kamu disuruh ambil nilai sendiri sebagai ganti presentasi Va." Kilah Bayu.
"Jadi enggak ada yang mau jujur?" Vanya menatap keenam sahabatnya. "Ada sesuatu yang kalian sembunyikan? Jujur."
"Ini soal aku." Ruben bersuara.
Semua tercekat.
"Aku suka kamu Va."
Vanya kaget. Nafasnya terhenti sesaat mendengar kalimat Ruben yang akhirnya terlontar.
"Maaf kalau aku melebihi batas. Kamu enggak usah pikirin. Enggak akan ada yang berubah. Serius."
Keduanya saling bertatapan. Dunia Vanya berputar seribu kali lebih cepat sementara jantungnya berdetak seribu kali lebih lamban. Ia terpaku.
Di ujung sana, Roland, Mail dan Pandu mengamati meja mereka.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/23821092-288-k516206.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.