"Kamu pucat Va." Anggun mengangkat wajahVanya.
"Mataku kunang-kunang. Badanku drop! Tulang rasanya seperti remuk."
"Kamu enggak usah olah raga yah, biar aku yang ijinin ke Pak Slamet."
"Enggak. Aku enggak mau ambil nilai sendirian. Itu bikin aku berpikir looser."
"Aku bilang anak-anak supaya.."
"Enggak usah Gun, plis. Aku enggak mau kalian khawatir berlebihan."
"Yakin kamu kuat? Kita ambil nilai lari lho."
"Setidaknya aku kuat sampai ke sekolah lagi sekalipun lama."
"Ruben. Vanya sakit, dia maksa ikut ambil nilai." Anggun tidak menghiraukan permintaan sahabatnya itu, menurutnya Vanya terlalu lemah untuk memaksakan diri. Ketika Ruben baru saja datang dari ruang ganti ia langsung memanggil Ruben supaya membujuk Vanya. Ruben pasti didengarkan, itu pikirnya.
Ruben langsung panik ketika Anggun laporan. Pagi ini Vanya memang tidak duduk bersamanya, karena pelajaran sebelumnya posisi duduk sesuai abjad kelompok praktek Fisika. "Va. Kamu jangan paksain yah. Nanti kamu pingsan."
"Kuat Ben, kalau sakit jangan dimanjain, harus dilawan."
"Va kamu pucet banget." Ruben meletakkan punggung jemarinya kedahi Vanya. "Hangat lagi. Kamu istirahat bukan malah aktifitas keras."
"Ben, aku kuat. Yah, percaya sama aku." Vanya langsung menarik lengan Alfa. "Al, kamu mau temenin aku sepanjang lari kan?"
Ruben dan Anggun menggeleng memberi kode ke Alfa.
"Kamu hangat Va." Alfa langsung memegang lengan Vanya yang tadi menariknya. "Kamu tiduran di UKS aja yah, kalau kamu sudah sehat aku temenin ambil nilai lari nanti. Kita ke UKS sekarang." Gantian Alfa yang menarik Vanya sekarang.
"Al."
"Va."
Ada cemburu dihati Ruben ketika Vanya merajuk pada Alfa.
"Yasudah kalian lari sana aku di kelas aja."
"Janji?" Tanya Anggun, Alfa dan Ruben.
"Iya. Tolong bilang sama Pak Slamet."
Ketika ketiganya yakin, mereka pun turun. Vanya menunggu waktu, sesaat lapangan sudah kosong karena kelasnya sudah keluar area sekolah, Vanya sekuat tenaga turun dan menyusul lari.
"Pak. saya ikut lambat-lambat boleh yah?"
"Kamu sakit katanya?"
"Kuat Pak."
"Yakin."
"Yakin."
"Silahkan."
Dengan derap lambat Vanya memaksa diri untuk lari. Ia sudah tidak menemukan lagi gerombolan kelasnya. Baru lima meter lari pelan ia akhirnya menemukan siswi-siswi yang sedang jalan sambil cerita.
"Vanya? Bukannya kau sakit?"
"Aku kuat."
"Tetapi kau pucat."
"Ssst..kita lari pelan-pelan saja. Kalian cape kan?"
"Kau jangan pingsan yah."
"Aku tidak akan menyusahkan kalian."
"Baiklah."
Dan siang itu Vanya berhasil sampai di sekolah dengan waktu melebihi target.
"Ayo Vanya!! Masih kuat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomantizmVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.