Aku kaget, sebuah motor terparkir di depan rumahku. Aku tidak kenal platnya.
"Non Vanya, ada temannya menunggu."
"Siapa? Sudah lama?"
"Itu Non yang dulu pernah dateng waktu Non baru SMA. Dia baru datang."
"Makasi Mba." Aku menghela nafas. Sepasang bola mataku mencari sosok tamu yang menungguku. Memastikan dugaanku.
"Aku langsung ke kamar Va." Alfa menepuk bahu Vanya. "Jangan sungkan memberitahuku kalau kau mau nangis lagi. Kita saudara bukan?"
Aku meletakkan sepatu dan tas. Kemudian menemui dia.
Di tempat kami dulu. Gazebo.
"Igo." Aku masih menatapnya kaget.
"Heii.. apa kabar?"
"Kaget. Kau?"
"Seperti yang kau lihat."
Aku masih menata jantungku yang berdetak kencang.
"Kau sudah lama?" Tanyaku basa-basi.
"Baru saja. Maaf aku tidak tahu nomor ponselmu. Aku menghubungi rumah, Mba bilang kau biasa pulang maghrib jadi aku menyesuaikan waktu."
Aku mengangguk. Aku duduk di kursi dekat gazebo.
"Bagaimana sekolah penerbanganmu? Kau tampak jauh berbeda sekarang."
"Sekolah ini asrama. Aku di karantina selama satu tahun, sama sekali tidak bisa komunikasi dengan orang luar kecuali waktu yang ditentukan, itu pun hanya keluarga. Ini tahun keduaku dan jadwal kami sangat padat. Maafkan aku Vanya. Aku meninggalkanmu tanpa kabar."
Aku menahan semuanya didada. "It's OK."
"Aku tahu kau marah."
"Tidak."
"Kau mau tanya untuk apa aku datang lagi?" Igo menghentikan kalimatnya.
Aku menatap Igo.
"Apa kamu masih untukku Vanya?"
Kami bertatapan. Sama-sama mencari jawaban di jendela hati ini.
"Kalau ya aku akan menegaskan hubungan kita kalau tidak aku benar-benar tidak akan mengganggu konsenterasi ujianmu di akhir tahun ini."
"Kau datang begitu saja merebut hatiku dan kau pergi begitu saja melepas aku, sekarang kau datang lagi menanyakan apakah aku masih untukmu? Kemana kau selama ini Igo? Bahkan kau tidak tahu sama sekali bagaimana aku selama ini tiba-tiba kau mau menegaskan semuanya."
Kami sama-sama diam.
"Apa kau siap menerima aku dengan segala keberadaanku sekarang Igo?"
Igo diam.
"Terakhir kali kita bertemu dengan ucapan terserah. Aku menunggumu tetapi kau pergi begitu saja. Kau tahu rumahku kau tahu nomor telepon rumahku tetapi kau membuat aku benar-benar kehilangan tanpa satu kata pun perpisahan. Aku menunggumu Igo. Sampai akhirnya aku sadar kita benar-benar jauh."
Igo diam.
Aku mengamati wajah Igo. Memilih untuk duduk, kakiku tak kuat lagi berdiri. "Kau tahu? Aku sempat patah hati karena Ruben. Ia sempat pacaran dan aku benar-benar patah hati. Kau puaskan ternyata kau benar kalau kami ada apa-apa? Ruben putus dengan problematika cintanya. Kami dekat lagi. Kami tidak pacaran. Tetapi kami jujur kalau kami saling membutuhkan. Dia tahu tentang aku dan kau, dia tidak merebutku darimu. Dia korbankan perasaannya karena dia tahu aku masih mengharapkanmu. Kau jahat samaku Igo. Kau jahat! Aku tahu kau yang menolongku waktu aku jatuh di koperasi, aku sempat melihatmu tetapi aku tidak yakin kau melakukan itu untukku di depan semua orang di kantin. Ruben mengatakan itu semua. Dia meyakinkan aku kalau kau suatu saat akan kembali dengan cintamu karena ia melihat cinta yang begitu kuat hari itu. Lalu aku harus bagaimana sekarang?"
"Aku tidak akan memaksakan hatimu Vanya. Tetapi kau milikku, aku akan memperjuangkan milikku. Satu tahun ini masa-masa sulitku. Aku yakin kau tidak akan meninggalkan aku karena aku melihat kesungguhan terakhir kemarin kau kecewa karena aku hendak melepasmu. Aku baru bisa keluar sekarang untuk ini aku menemuimu. Menemui Vanyaku."
Aku menatap Igo. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Igo duduk di depanku, menarik nafas panjang. Meletakkan kedua siku lengannya di atas paha, kemudian menyatukan kesepuluh jemarinya. Menatapku. "Fokus untuk ujianmu, aku tidak meminta jawabannya hari ini. Aku yakin kau sudah dewasa." Igo menggigit bibirnya. "Aku datang disaat yang tidak tepat. Maafkan aku."
Kami sama-sama mengunci diri.
***
Aku menyandarkan tubuhku di kursi. Igo dan Ruben. Mereka mengacaukan moodku. Aku ada di dua pilihan sekarang. Aku tidak tahu harus memilih.
"Vanya. Kau dari tadi belum ganti seragam? Ada apa dengan Igo?"
"Dia tanya, apa aku masih untuknya. Aku ceritakan semua tentang kedekatan aku dan Ruben sekarang."
"Apa tanggapannya?" Respon Alfa langsung cepat.
"Ia akan memperjuangkan aku."
"Kau sendiri?"
"Aku bingung Al. Getaran tentang Igo masih sangat kuat."
"Kau harus memilih Vanya."
"Siapa Al?"
"Tanya hati kecilmu."
"Ini bukan soal untung rugi."
"Yah, cinta bukan bisnis."
Vanya terpaku.
Pertahananku runtuh. Aku menangis. Pundakku berguncang karena aku benar-benar menangis. Rasa yang berputar dihatiku terlalu sakit, seperti sebuah belati yang tertancap tepat diulu hati. Ini sakit sekali.
"Aku tidak mungkin menolak Igo yang begitu aku rindukan. Dia masih menatapku dengan cara yang sama seperti dulu. Suaranya masih terdengar penuh cinta seperti rekaman yang masih terus terngiang ditelingaku kala aku begitu mendambanya. Hari ini dia datang lagi. Dia kembali."
"Aku sudah kira ini akan terjadi."
"Aku bingung Al."
Alfa menarik Vanya kepelukannya. "Kau hanya butuh tenang. Mungkin kau butuh jarak dari mereka untuk memastikan siapa yang benar-benar kau kasihi, bukan sekedar cinta. Kau paham maksudku?"
"Caranya?"
"Kuliah samaku di luar negri."
"Lalu aku menggantungkan mereka?"
"Jangan beri jawaban apapun pada Igo. Jangan terima cinta Ruben."
"Kau yakin Al?"
"Sejauh ini aku berpikir begitu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.