Udara di kelas semakin menusuk tulang bahkan sudah menembus kulit. Cuaca bumi di luar sana sedang mendung mengantar beberapa insan ke masa lalu. Salah satunya Alfa. Ia sedang duduk di bangku Vanya sambil menelungkup kala keenam sahabatnya bersenda gurau di koridor. Ia memilih sendiri menyelesaikan khayalannya.
Hai Vally. Apa kabarmu di sana? Aku turut berdukacita atas kepergian Ibumu. Pasti kau sangat merindukannya sekarang, seperti aku sangat merindukanmu. Sampai detik ini juga aku masih belum percaya kalau aku tidak bisa lepas darimu. Apa ini cinta pertama? Kesanmu begitu membekas, aku tidak akan pergi Vally. Tidak akan.
Dalam renung, Alfa masih mengingat setiap lekuk gadis pujaannya, yang membuat ia berani melepas Vanya. Alfa yakin suatu hari nanti ia akan bertemu dengan Vally, entah bagaimana caranya Tuhan mempertemukan mereka.
Aku memang tidak pernah melakukan ini sebelumnya Tuhan. Inilah awal aku meminta suatu yang besar padamu, beritahu aku apakah Vally memang untukku? Terima kasih.
"Al."
"Va?"
"Aku ganggu kamu?"
"Duduk." Alfa menepuk kursi di sebelahnya.
"Soal tadi."
"Kamu masih kepikiran? Santai aja, kan Ruben bilang enggak ada yang berubah."
"Apa itu akan terlihat baik-baik aja kalau aku tetep seperti kemarin smaa dia?"
"Kalau kamu jadi jaga jarak justru aneh."
"Jadi biasa aja Al?"
"Iya. Kamu ada rasa enggak?"
Vanya menggeleng.
"Ruben enggak minta jawaban kamu kan?"
"Jadi sebenernya ada apa si Al?"
Alfa menarik nafas panjang. Mereka semua sudah sepakat kalau akan menyembunyikan rahasia ini dari Vanya, bahwa Igo lah yang menolong Vanya ketika pingsan di kantin.
"Tadi Ruben sudah jujur, mau kejujuran apa lagi?"
Vanya menarik lengan Alfa. "Aku masih ingat jelas Al, terakhir yang aku lihat sebelum aku pingsan, itu Igo. Bilang sama aku kalau aku berhalusinasi." Ungkap Vanya pelan. "Kenapa ekspresi kamu begitu Al?"
"Apa kamu masih berharap besar sama hubungan kamu dan Igo?"
Vanya mengangguk. "Aku sayang sama dia."
Alfa mengangguk.
Cinta mereka kuat sekali.
"Kalau begitu kamu bisa kan bersikap biasa aja setelah Ruben bilang suka kamu?"
"Bisa." Vanya menarik nafas panjang. "Tapi tolong jawab pertanyaan aku tadi."
"Kalau itu benar Igo, kamu mau ke kelas tiga nyamperin dia?"
"Aku cuma mau pastiin kalau perasaan aku ini enggak sia-sia Al."
"Perasaan kamu enggak sia-sia Va."
"Jadi benar dia Igo?"
"Iya."
Vanya terkesiap. Jantungnya berdetak kencang.
Kamu enggak tanya siapa yang tolong kamu kan Va?
"Jadi Igo yang tolong aku atau Ruben?"
Alfa menegang.
"Al."
"Aku enggak di sana saat itu."
Vanya melepas semua nafasnya. "Ruben enggak cerita?
"Sudahlah Va, yang penting kamu sehat sekarang."
"Bukan itu masalahnya Al."
"Kamu ribet sama Igo atau kamu dilemma antara Igo dan Ruben?"
"Dilema? Kamu pikir?"
"Aku bisa lihat mata kamu setiap kali lihat Ruben."
Vanya menatap Alfa. Menunggu Alfa menyelesaikan kalimatnya.
"Aku cuma mau ingetin kamu Va. Kamu harus tegas sama perasaan kamu."
"Enggaklah Al. Aku sama Ruben sahabat."
Alfa mengangkat bahunya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.