Prolog -- Di kelas 1.4 SMA Negeri

4.3K 146 0
                                    

Aku mengusap wajahku menjadi sapuan cokelat diselembar tisu, menelan ludah menahan haus, mengkibaskan rambut dengan jari, kulirik teman sebelahku yang juga mulai berkeringat, ia menoleh sambil tersenyum.

"Panas yah."

"Iya."

"Lain kali kalau upacara jangan di barisan nomor dua, kita ke tengah aja."

Aku tersenyum. Kita? Itu pembukaan yang manis. "Namaku Anggun."

"Mutia. Nadamu masih kental Bali. Kau merantau?"

"Benar. Aku sepertinya harus bergaul sama anak Jakarta."

Kami tertawa kecil, pastinya sambil kipas-kipas.

"Untung paduan suara dan Paskibranya bagus yah jadi minimal ada hiburan."

"Kau menikmati juga?"

"Iya. Sayangnya aku fals dan enggak suka berpanas-panasan jadi enggak mungkin ikut ekstrakulikuler itu nanti. Yang ada malu-maluin."

Aku menahan tawa. "Sebenernya aku mulai kebelet pipis dari tadi."

"Di belakang ada anak PMR nanti kalau kamu keluar barisan disangka pingsan."

"Tahan dong? Masih lama enggak yah?"

"Ini masih Pembacaan UUD'45. Lumayan."

"Oalah. Bisa-bisa ngompol nih."

Kali ini gantian Mutia yang menahan tawa.

Riangnya tak terkira. Setelah menanti cukup lama akhirnya upacara selesai. Aku dan Mutia langsung lari ke toilet yang memang sudah penuh sama kakak kelas. Huh! Seandainya hari pertama ini kami sudah berseragam putih abu-abu pasti enggak pakai istilah ngalah sama senior. Tahan. Tahan. Tahan.

"Legaaaaa." Ucap kami berdua lega setelah sampai di kelas.

"Duduk bareng yuk."

"Temen semeja kamu nanti tersinggung."

"Aku belum kenal. Kita bujuk aja."

"Nekat."

Mutia malah tertawa. Dan benar! Dia membujuk teman semejanya, jadilah aku dan Mutia duduk semeja selama MOS. Kami langsung kompak.

"Selamat pagi!"

"Pagi Kak."

Tentu saja aku dan Mutia langsung saling melirik ketika dua cowok kece berseragam putih abu-abu masuk kelas. Naluri perempuan kami bergetar.

"Aku suka si kakak Pembina." Bisik Mutia pelan ketika cowok yang ia maksud berbincang serius dengan wakilnya. "Rambut mereka basah, segarnya! Berwibawa."

"Dani? Aku juga tapi tenang saja aku sudah punya pacar namanya Febrio dia kuliah di Depok, sama sepertiku orang Bali juga. Mau kubantu untuk Dani?"

"Ah tidak perlu sepertinya semua mengagumi Dani. Hidung mancungnya menyita hati semua perempuan di kelas ini. Aku hanya sekedar kagum."

"Tapi matamu tak lepas dari dia. Heii Mutia, aku di sini lho!"

Selama kami mempersiapkan tugas pertama yaitu yel-yel dan pertunjukkan kelas yang nanti akan dilombakan dengan tujuh kelas lainnya, Mutia agak jaim supaya Kak Dani setidaknya melirik. Oh Dani, kau mempesona sekali, Mutia kepincut kau buat!

"Kau jangan beranjak dari situ, Dani mengarah dekatmu."

Mutia langsung membenahi tatanan rambut setelah aku selesai berbisik. "Apa dia melirikku?" Mutia mencuri waktu untuk menanyakan ini, tentu saja berbisik.

"Tidak tahu percis. Tetapi sepertinya sekelas ini juga melakukan hal yang sama sepertimu, merapikan rambut mereka disetiap gerakan Dani. Kalian ini!"

"Apa kau benar-benar mati rasa?"

"Biasanya cowo kalau digemari semakin misterius dan jual mahal apalagi lihat tingkah perempuan yang menggelepar minta diperhatikan. Kalau kau biasa saja seolah dia tidak istimewa, justru dia akan penasaran samamu dan balik mengejarmu."

"Teori FTV?"

"Pengalaman pribadi."

"Sama Febrio mu itu?"

"Yap."

"Lihat foto pacarmu."

Aku memasang senyum lebar. "Aku ambil fileku." Aku lekas mengambil file kemudian menunjukkan foto kekasihku, bangga sekali menunjukkan Febrio yang memang manis sambil bercerita panjang lebar. Mutia mendengarkan saja!

"Kalian enggak ikutan sibuk sama yang lain?" Tegur Dani dingin.

Aku dan Mutia menelan ludah. Kemudian serius dengan kelas.

"Mines deh aku di depan Dani."

"Justru itu akan membuat dia mengingatmu."

"Sesat kau!"

Tawaku meledak.

Hampir satu jam kami latihan. Aku sendiri tidak yakin kelasku yang dari tadi tak kunjung kelar berargumen akan menunjukkan yang terbaik. Semua ingin idenya ditampilkan, aku dan Mutia diam saja, jadi malas. Alhasil kelas kami adalah kelas yang paling memalukan. Kami berdua malah lebih tidak peduli. Justru Dani dan Iman yang malu sama teman-teman panitia Ospek dan MOS.

"Aku sudah melihat siswa bernama Vanya pas praMOS Sabtu kemarin."

"Aku juga. Karena seragamnya yang mencolok itu kan?"

"Aku perhatikan dia pendiam dan agak canggung."

"Pasti dia merasa asing."

"Masa sih? Aku kalau secantik dia pasti sangat percaya diri."

"Kalian masih mau ngobrol?" Lagi-lagi Dani menegur kami.

"Maaf Kak."

"Aku langsung ilfeel sama Dani."

Aku mengerutkan dahi.

"Dia sudah tahu aku mupeng sama dia terus tampangnya makin tebar persona, GR atau tukang tebar pesona ternyata! Terlalu standart!"

Aku hampir meledak lagi kalau Mutia tidak cepat menutup mukaku dengan buku. "Kalau kau tertawa kencang, buku ini masuk ke tenggorokanmu."

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang