Prolog -- Di kelas 1.2 SMA Negeri

6.9K 178 0
                                    

Aku lebih dulu bangun dari ayam berkokok. Menyiram kepala dengan hujan air mancur yang bermuara dari segayung plastik yang kutuang dengan lenganku. Berburu waktu membalut tubuh dengan sepasang kemeja putih dan celana pendek biru selutut yang sebentar lagi akan terlihat seksi seperti rok mini. Memilih untuk menyuap perut di jalanan, melangkah hampir berlari bersama bumi yang berputar mengejar matahari.

Pikiranku menari bersamaan dengan dentum kord lagu yang mengiringi. Tersenyum menghirup wewangian berharap tidak ada bulir-bulir peluh sambil menggenggam sapu tangan. Mengayuh semangat lebih kencang lagi demi sebuah etika seorang siswa baru di hari pertama tahun ajaran baru.

Sampai.

Antrian sudah berderet panjang menjamu lalu lintas dengan padat penghuni jalanan. Hilir mudik menjadi sarapan kota dan hingar bingar adalah candu kopi nikmat yang tak pernah tidak mendidih. Sebuah tradisi pagi kota ini. Aku ikut melompat ke atas angkot dan menggantung di pintu, solusi tepat untuk datang tepat waktu.

Pas! Jam 07.00. Barisan upacara sudah lurus, aku lekas berlari membalap kecepatan guru-guru yang sudah hampir memenuhi teras lapangan. Aku tidak mempedulikan seragam KOPRI mereka yang terlihat baru. Secepat kilat aku menitipkan tas di koperasi pada seorang ibu yang terlihat bingung menatapku, kemudian aku mencari barisanku. Terlambat! Aku pun berbaris asal di barisan putih biru. Semoga tidak ketahuan.

"Telat?"

"Begitulah."

"Namaku Arman."

"Alfa." Aku membalas jemari Arman yang disodorkan ramah. "Ini kelas berapa?" Aku tahu Arman tengah mencibir aku dikepalanya. "Hari pertama." Aku mengangkat alis menetralkan suasana, padahal aku tahu ini terlihat konyol.

"Satu satu."

Aku langsung menoleh ke sebelah kanan kemudian mengalihkan wajahku lagi pada Arman. " Itu kelasku." Jempolku menunjuk ke kanan. Seketika kami tertawa.

"Kau dari sekolah Katolik?" Arman melihat logo kantong seragamku.

"Kau dari sekolah Islam?" Aku membalas pertanyaan Arman dengan menunjuk logo kantong seragamnya. "Sepertinya kita cocok sekelas, sayangnya tidak sekelas."

"Katanya kelas MOS kelas sementara, semoga saja kita sekelas nanti."

Aku menengadahkan telapak tangan, Arman menepuk.

Mungkin karena merasa sama-sama nakal atau karena naluri laki-laki kami cocok atau apapun yang pasti aku dan Arman langsung klik untuk ngobrol panjang. Buatku ini hari pertama yang mengesankan. Telat, nyasar dan dapat satu teman baru.

"Kepada Pembina upacara, hormaaaaaaaaaat grak!!"

Dengan semangat aku dan Arman ikut menghentakkan hormat supaya bunyi seperti yang lain lakukan. Kami sama-sama tertawa ketika bunyi yang kami tepuk telat.

Suara bass dari depan terdengar bijaksana menyambut siswa kelas satu. Aku ikut menyahut ketika jejeran kalimatnya mengandung pertanyaan untuk kami. Usai itu kami berdua kembali sibuk membuat pidato.

"Upacara selesai."

Barisan belakang menghembuskan nafas lega, termasuk kami pastinya, karena kami berdiri di barisan paling belakang. Panas matahari mulai terik. Ini penutupan yang tepat waktu. Aku mengamati sekeliling, wajah-wajah baru yang tiga tahun ke depan akan menjadi teman atau mungkin sahabat. Aku berharap sekolah ini memberikan masa-masa menyenangkan seperti kata orang-orang terdahulu.

"Kau masih mau dijemur? Kita harus segera kembali ke kelas. Senang berkenalan denganmu." Arman menyodorkan tangannya sekali lagi.

"Senang juga punya partner in crime sepertimu. Jangan bongkar rahasiaku." Bisikku ditelinga Arman, aku mencium wangi minyak rambutnya, wangi yang familiar.

Aku tidak lupa mengambil tasku di koperasi. Setelah sadar kalau aku hanya sendirian yang pakai celana pendek, aku segera lari vertical ke kelas dan mendapati kelas sudah penuh. Sepasang mata cokelatku mencari tempat kosong. Ada di paling pojok belakang, mungkin ada hantunya di sini makanya tidak ada yang berani duduk.

Aku mendengar bisik-bisik, ada yang bicara tetapi ada juga yang masih kaku. Aku menyapa tetanggaku, ia terlihat asyik dengan komik, metal sekali anak ini bawa komik ke sekolah. Mungkin dia tidak tahu apa yang sedang dia perbuat!

"Alfa." Aku menyodorkan lima jariku.

"Hans." Hans menurunkan komiknya menyambut salamku ramah. "Kau yang tadi baris di kelas sebelah?" Hans menyeringai. "Aku melihatmu tadi."

Aku tertawa. "Hari pertama langsung telat, untung saja dewi fortuna menyelamatkanku. Kau sudah kenal teman-teman yang lain?"

"Nanti saja, nanti juga ada sesi kenalan. Ngomong-ngomong kau suka sepak bola? Konon, sekolah ini jagoan sepak bola. Aku mau ikut ekskul itu nanti."

"Suka. Ekskul bola? Mmm.. aku mau cari suasana baru, mau cari ekskul yang ada cewenya, siapa tahu dapat satu."

Tawa kami menggelegar, spontan mengundang perhatian yang lain. "Maaf." Ungkap kami berdua ketika sadar ada tatapan protes.

"Selamat Pagi!"

"Pagi Kak."

Dua orang siswa berlogo OSIS putih abu-abu sedang berkata-kata di depan kelas. Rupanya mereka Pembina kelasku tiga hari MOS. Pembinanya anak kelas 3 IPA 4 bernama Rendar dan wakilnya kelas 2 bernama Haris. Mereka menjelaskan banyak hal termasuk salah satu tugas yang harus kami kerjakan kurun waktu satu jam, yel-yel dan pertunjukkan kelas yang akan dilombakan di lapangan dengan juri kakak kelas II dan III.

Ini dia yang ditunggu-tunggu. Akhirnya aku bisa bertemu dengan semua anak kelas satu. Satu perempuan yang paling mencolok dengan seragam kotak-kotaknya, aku belum tahu namanya, terlalu jauh untuk membaca kalung nama yang wajib kami pakai selama MOS. Yang aku perhatikan tipe wajahnya itu tipe muka Indonesia Tengah. Hmm.. sepertinya gadis itu primadona kelas satu! Dia yang paling bening diantara semuanya, apalagi ketika dia menari, alamakk!! Pantas saja ada yang teriak-teriak. Vanya. Mungkinkah itu namanya? Well, nama yang cukup manja.

Kelasku tidak menang. Aku malah lebih suka biasa-biasa saja ketimbang menang menghebohkan seperti kelas si Vanya. Jangan-jangan kakak kelas memang sudah mengincarnya. Aku mundurlah kalau begitu, lagi dia terlalu cantik. Cari yang lain.

"Semua orang membicarakan Vanya."

Ternyata, bukan hanya Theodorus Alfa Aliandre yang mengagumi! Pikirku ketika Hans memulai percakapan setelah kami sudah bersandar di bangku pojok kelas sambil menikmati sebotol air mineral yang memang dibawa Hans dari rumah. "Oh cewe satu delapan itu? Kau juga salah satu dari mereka?"

"Bukan tipeku, aku suka yang manis-manis, dia terlalu cantik."

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang