Aku benar-benar menghanyutkan pikiranku dengan pelajaran. Ini adalah alasan aku tidak membahas soal Igo dan Ruben. Di sekolah aku dan Ruben tidak sedekat sebelumnya karena sibuk belajar. Aku juga mulai atur jarak sama Igo dengan alasan belajar. Syukurlah semakin mendekati ujian kami semakin digencet untuk belajar.
Siang ini kami makan siang bersama di kantin. Sejak kelas tiga kami hanya bisa main di hari Jumat, hari lainnya kami benar-benar serius karena sebentar lagi Ujian Nasional. Aku tidak mau hal ini mempengaruhi kelulusanku.
"Vanya. Apa kau tidak menikmati tahun terakhir ini? Kau kelihatan kurus."
"Ya Johan, aku turun tiga kilo. Kalau daging aku murah ini."
"Ini tahun terakhir kita sama-sama, ternyata SMA itu sesingkat ini yah."
"Tetapi mengesankan." Sambar Alfa.
"Kau benar Alfa. Apa kita masih akan terus bersama setelah lulus?"
"Pasti!" Jawab mereka semua.
"Vanya." Seseorang yang suaranya sangat familiar memanggil Vanya.
Aku menoleh. "Roland?"
"Kau masih mengenalku." Roland tertawa kecil.
"Yah sekalipun kau tidak berseragam lagi. Apa kabar?"
"Baik."
Aku merasakan sahabat-sahabatku menatap heran.
"Kau di mana sekarang?"
"Menejemen UGM."
"Wow hebat!"
"Boleh aku minta waktumu sampai malam Vanya?"
"Kau ke sini punya urusan samaku?"
"Yah. Ini penting sekali."
"Soal?"
"Di mobilku saja."
Aku menatap curiga.
"Aku tidak akan melukaimu, itu hanya masa lalu. Kau sudah minta maaf di pertunjukkan itu bukan? Dua tahun lalu. Momen itu masih terekam jelas diotakku."
"Apa aku harus percaya padamu?"
"Demi Igo." Bisiknya.
"Kau mau ikut denganku?"
"Kau tidak mau melukaiku kan?"
Roland tertawa kecil. "Aku terlalu tua untuk bermain-main lagi seperti kalian yang mengenakan seragam ini. Putih abu-abu, mengesankan!"
"Apa kau bisa tunggu sebentar?"
Aku melihat Roland tersenyum akhirnya. "Berdiskusilah dengan gengmu. Ingat, aku hanya mengundangmu." Kemudian dia pergi.
"Ada apa Vanya? Apa hubungan Roland samamu?" Tanya mereka semua.
Aku menggeleng. "Dia minta tolong sesuatu."
"Kau yakin?"
"Yakin." Aku bersiap pergi. Aku sempat menatap Ruben. Ia tersenyum sambil mengangguk. Aku menarik bibirku tipis seraya berpamitan.
"Roland boleh tanya sesuatu?" Aku takut-takut menanyakan ini ketika di mobil.
"Silahkan."
"Apa kau tahu tentang aku dan Igo?"
"Pastinya."
"Sejak kapan?"
Roland membelokkan setirnya. "Boleh aku sambil merokok? Kau keberatan?"
Aku mengangguk. "Kau kelihatan tertekan menjawab ini maafkan aku."
"Tidak. Aku sudah meredamnya." Roland membakar rokoknya kemudian menghisap. "Aku sudah curiga hubungan kalian sejak kejadian di basecamp Pramuka. Aku melihat air mata sementara selama ini dia bandal. Dan ia menghindar dari kami. Jujur aku bingung. Tapi semua kebingunganku terjawab ketika kau pingsan di kantin, dia menangkapmu ketika kau sempoyongan. Dia begitu mengkhawatirkanmu, rela tidak ikut pelajaran. Kau tahu? Kau benar-benar mengguncangnya. Aku ingat sekali, hari itu akhirnya kami menemui Igo dan minta maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.