"Bagaimana kabar kamu Al?""Baik. Tadi aku banyak ngobrol sama Kak Alvaro."
"Kamu sudah bisa bicara? Lukanya sudah kering?"
"Hai sayang, kamu sudah pulang?" Sapa Alvaro.
"Papi sama Kak Al enggak kerja?"
"Sudah pulang. Kamu tumben pulang cepet?"
"Enggak ada yang menarik di sekolah."
"Masih berantem sama Ruben?"
"Papi stop ledekin Vanya."
"Kami bertiga sudah bicara banyak Va. Kamu keberatan kalau Alfa jadi keluarga kita? Papi angkat dia sebagai anak, cerita masa lalunya harus selesai."
"Aku setuju"
"Serius?"
"Dari awal aku merasa nyaman sama Alfa. Dia anak baik dan pinter. Makasi ya Pi, Papi udah terima temen Va dan selesaiin kasus Alfa. Va bangga." Vanya memeluk Papinya. "Aku bahagia banget Al kalau kita saudara." Wajah sumringah Vanya tercetak jelas kalau ia benar-benar bahagia.
"Kamu enggak marah?"
"Kamu datang ke rumah yang tepat. Ini rumah Al, kamu enggak akan merasa ada di neraka di sini. Seperti punya abang baru."
Alfa merangkul Vanya.
"Sudah bisa cerita?"
"Aku lagi belajar sambil denger lagu pakai headset. Ternyata Bapak panggil tapi aku enggak denger, akhirnya dia naik dan ngamuk. Macam iblis jantan yang ngamuk ngacak-ngacak neraka, rumah itu kayak neraka Va."
"Iblis? Sedarah tinggi itu?"
"Dia ambisi aku jadi insinyur, menebus cita-citanya yang enggak kesampaian."
"Rumah ini demokrasi tinggi Al. Hak kamu untuk hidup, bercita-cita dan bersuara dijunjung tinggi. Kewajiban kamu hanya satu, belajar."
"Theodorus Alfa Aliandre. Keberatan kalau jadi Alfa Fernandez?"
"Aku keberatan kalau kamu babak belur terus kayak gini dan yang paling parah kamu punya dendam berakar. Kamu jangan dendam sama mereka ya Al, kamu sudah menjadi keluarga Fernandez yang jauh lebih damai. Masa lalu kamu biar jadi hikmat."
"Iya Va. Aku hanya punya setitik cahaya untuk mereka namun itu semua padam malam itu juga. Dan tentang mereka aku tidak akan angkat lagi. Aku harus memulai menata masa depanku."
"Jadi kita bisa kasih tau kabar bahagia ini ke Bayu CS dong? Hari ini mereka bahas kamu, tapi aku diam aja."
"Kita harus kasih tau mereka. Kita bahas ini besok di sekolah."
"Aku senang kamu jadi abangku. Tuhan adil, aku tahu itu." Senyum Vanya lebar.
"Aku senang masuk SMA, Va."
Vanya tertawa. "Aku seneng masuk SMA negri Al. Siap ke sekolah besok?"
"Siap."
***
"Aku senang kau sudah sekolah lagi Al."
"Aku juga senang Gun."
"Jadi kemarin lukamu tambah karena kami besuk?"
"Percis."
"Aku sudah kabur kalau jadi kau."
"Aku sudah di rumah Vanya sekarang. Aku senang Papi dan Kak Alvaro menerimaku. Dan mereka sekarang sedang mengurus hak asuh atasku dan mengurus kasusku. Aku memberitahu ini pada kalian supaya kalian tahu kalau aku sekarang tinggal serumah dengan Vanya."
"Jadi kalian saudara angkat?" Seru semuanya ternganga.
Ruben hanya diam tetapi ia menunggu jawaban pasti juga.
"Ya. Dan Alfa akan menyandang nama Alfa Fernandez. Surat-suratnya sedang dalam proses. Aku harap kalian tidak ada yang cemburu. Dan ikut senang."
"Tentu saja kami senang. Aku tahu Alfa anak baik dan jadi bagian di keluargamu adalah masa depan yang baik. Al, selamat yah. Kau bebas."
"Terima kasih Mutia. Aku bukan hanya bebas tetapi aku punya saudara yang benar-benar baik sekarang. Vanya dan Kak Alvaro."
"Kau beruntung Al." Ucap semua. "Lalu kita ke mana sekarang?"
"Ke rumahku. Gimana?" Jawab Ruben cepat. "Celebration!"
Nafas seketika tertahan. Kalimat tandas Ruben tadi memompa adrenalin. Rahang Vanya mengencang. Alis lebat menyatu dengan tatapan penuh tanya. Ia harus mengatur napas sebelum mengangguk setuju. Ia menatap Ruben dengan tatapan kelu.
Ada sengatan listrik yang menyisip ditubuh Ruben dan Vanya. Jawaban Ruben atas pertanyaan jadwal mereka Jumat sore itu membuat Vanya bergeming hanya tersenyum tipis. Suara berat Ruben menghipnotis.
Ruben melepas senyumnya untuk Vanya.
"Serius Ben?"
"Iya."
"Kita bertujuh?"
"Bertujuh."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.