Musim ulangan ketiga sudah selesai lagi.
"Vanya. Apa kami bisa ke rumahmu?" Bayu membujuk.
Vanya senyum. "Boleh. "
Aku menangkap Ruben menatapku kaget. Aku menatap tatapannya. It's my turn! Kami bertatapan tanpa arti.
"Ka Ruben!"
Tujuh Sahabat langsung menoleh. Diaz.
"Dia lagi-dia lagi!" Gumam Anggun.
"Kita jadi cari DVD kan? Kakak janji Jumat ini kita mau ke toko kaset."
Tujuh Sahabat menatap Ruben yang galau. Ia pasti dilemma.
"Aku tidak janji apa-apa."
"Kak!"
"Selesaikan masalah kalian." Tegas Alfa.
Ruben langsung membawa Diaz menjauh. Tujuh Sahabat menunggu Ruben, sesekali melihat ke arah pasangan fenomenal itu. Ruben dan Diaz seperti adu pendapat. Ruben berusaha keras membujuk Diaz untuk mengerti. Tetapi sepertinya Diaz tidak mau mengerti. Tujuh Sahabat tidak ada yang menengahi, Ruben sudah terlalu jauh dari mereka sejak pacaran. Ruben datang. Semua menunggu penjelasannya. Diaz masih di sana.
"Ayo!" Ajak Ruben. Semua tercekat. Ada kemenangan yang mereka rasa. Satu per satu mereka melihat Diaz lalu pergi. Sekalipun tahu ini salah.
"Kau yakin Ruben?" Bayu mempertanyakan tanda tanya dipikiran mereka.
Ruben tidak menjawab sama sekali. Ia mengunci bibirnya.
Hari ini aku melihat Ruben tidak menikmati permainan dan canda kami. Ia sibuk dengan ponselnya sekalipun ia berusaha menyembunyikan dari kami, bahkan ketika ponsel itu berkali-kali bunyi ia malah mematikannya. Tidak ada satupun dari kami yang berkomentar, pertanyaan Bayu tadi cukup menjadi pelajaran.
"Kau tahu Ruben? Kembang api akan terlihat lebih indah jika kita membakarnya di malam hari. Itu alasannya semua orang tidak langsung menyadari ada pelangi di langit karena dia selalu datang ketika matahari berdiri di sana."
Sahabat-sahabatku menatapku kaget ketika kami duduk bersama di kamar Alfa.
Vanya mengalihkan pandangannya ke hujan. Hujan datang lagi.
"Kalau kau berat bersama kami, pergilah mengejar kekasihmu. Kami selalu ada di sini Ruben, kami enggak akan pernah meninggalkanmu, persahabatan ini abadi."
Ruben akhirnya menatap Vanya. Ia melihat senyum yang sudah terlukis dibibir.
"Kenapa Vanya?" Tanya Ruben pelan.
"Aku?"
"Kenapa kau selalu berusaha menjadi malaikat sementara kau begitu pahit?"
"Kamu salah Ruben."
"Kamu menghindar setiap kali mau papasan sama aku, kamu enggak pernah lagi tatap mata aku, kamu menjauhi aku. Apa namanya kalau enggak pahit?"
Vanya ternganga. Ia tidak menyangka Ruben akan menelanjanginya seperti ini.
"Aku paham bagaimana kau patah hati."
Vanya tegang. Ia menahan tangis. Gengsi!
"Aku tahu posisi aku sebagai sahabat, enggak lebih. Maaf kalau kau terganggu."
Aku sendiri meyakinkan diriku. Aku tidak tahu apakah Ruben tersinggung atau merasa terselamatkan karena situasi dilemanya. Tetapi aku harus berhenti menjadi batu sandungan untuk persahabatan kami. Aku terlalu mencintai persahabatan ini dan benar-benar takut kehilangan mereka semua.
"Terima kasih, Vanya. Aku seneng dengernya!" Ruben meninggalkan mereka. Ia menerjang hujan membiarkan tubuhnya kuyup mengejar cintanya. Pastinya tindakannya itu membuat getir. Ini sakit sekali!
"Kau yakin, Vanya?" Tanya sahabat-sahabatnya.
"Apa aku terdengar mengusir atau mengikhlaskannya? Aku hanya merasa takut kehilangan kalian semua dan persahabatan ini kalau patah hatiku terus menjadi batu sandungan untuk kita menerima Ruben dengan statusnya yang sekarang. Kehilangan satu saja membuatku mau mati apalagi kehilangan kalian semua."
Bayu menghapus air mata Vanya. "Ini baru persahabatan, Vanya. Kamu tegar."
"Tidak. Aku rapuh, aku seperti ini karena aku benar-benar rapuh."
Bayu mendekapku dalam peluknya.
"Kita semua kehilangan Ruben. Tetapi kita selalu ada untuknya. Dia hanya sedang berlayar tetapi pada waktunya dia akan pulang ke rumah. Pasti." Johan menguatkan. Kalimatnya meneguhkan. Tujuh Sahabat merasa sangat terhibur. Yah, kami akan menunggu Ruben kembali. Sendiri atau berdua. Kami siap.
Persahabatan ini memasuki episode kedua. Ini menguji kedewasaan Tujuh Sahabat dalam bergaul, ini benar-benar membentuk mereka. Ini luar biasa!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomansaVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.