Oohh Diaz!!!!

1.2K 58 0
                                    

"Ruben!!"

Tujuh Sahabat langsung menoleh. "Ada apa?"

"Diaz!! Diaz dipanggil guru BP, dia malah berontak. Nama kamu disebut."

Kami langsung menatap Ruben.

"Ruben juga dipanggil guru BP?" Tanya Alfa.

"Tidak. Tersebar di kelas satu Diaz ketergantungan obat-obatan terlarang karena frustasi hubungannya kandas dengan Ruben. Semua tanda-tanda itu sangat terlihat."

Tujuh Sahabat terperanjat.

"Maaf aku bukan mau menggunjingkan Diaz, tetapi namamu begitu akrab dengan musibah Diaz sekarang." Anak kelas satu itu kemudian pergi.

Alfa dan Bayu merangkul Ruben.

Nafas Ruben terdengar berat ketika ia menghembuskannya pelan-pelan saat mereka melangkah ke koperasi. Vanya menatap Ruben dari belakang ketika Alfa dan Bayu merangkul dia.

Apakah mereka masih bertemu dibelakang kami? Tetapi itu rasanya tidak mungkin. Ruben benar-benar menyesali hubungannya dengan Diaz.

Kelas II sedang menikmati kebersamaan di koperasi sambil memandang rintik hujan yang mungkin sudah lelah melompat dari langit. Bakwan jagung panas merupakan teman terbaik kala dingin menyelimuti. Canda tawa pun menghangatkan jiwa dan raga bersamaan dengan sinar matahari yang perlahan bersinar. Mereka memenuhi koperasi dengan cerita yang mengundang rindu dimomen masa putih abu-abu. Pasti hari ini akan selalu dikenang.

"Ruben!!!"

Tawa mendadak reda.

Diaz.

Dia datang dengan berlinang air mata, penampilannya sangat kacau, tubuhnya memang terlihat kurus, matanya sayu dan wajahnya tidak semanis dulu. Ia menghampiri Ruben dan berdiri tepat di depan mantan kekasihnya itu. Diaz mengusap air matanya dengan kerah kemeja.

Mereka semua memandang Diaz dengan tatapan menunggu. Ruben menatap mantan kekasihnya itu dengan tatapan aneh. Diaz tak bisa menghentikan air matanya sementara Ruben bersikap sangat dingin.

Plakk!!!!!

Satu tamparan keras mendarat dipipi Ruben dari tangan Diaz.

"Kau sudah menghancurkan aku dan menutup semua kelakuanmu dengan senjata kharismamu. Munafik!" Diaz teriak ketus sampai kami semua ternganga. Ruben hanya memejamkan mata menyentuh pipinya yang merah.

"Aku memang tergila-gila padamu, aku memang patah hati seperti orang tak punya harapan hidup setelah kau putuskan aku dan kau pamer mengobral cinta dengan princess itu. Tetapi aku juga butuh pengakuan kalau semua kebodohan aku itu karena cinta yang kau tanam Ruben! Kau bukan hanya menanamkan cinta pesakitan dihatiku dan menyebarkan virus benci supaya satu sekolah ini menilai aku gila dan memusuhiku. Kau juga menghancurkan hidup aku! Aku menanggung semua derita pesonamu!" Diaz histeris.

Semua kaget. Ruben sendiri tidak menyangka.

"Boleh kita bicara baik-baik Diaz? Kau yakin mempermalukan dirimu dipertontonkan seperti ini di sekolah?" Mutia menarik lembut tangan Diaz. Tetapi Diaz menepis.

"Aku tidak punya urusan denganmu. Aku punya urusan sama dia." Tatapan Diaz menghunus Mutia. Tangannya menunjuk Ruben, tepat diwajahnya.

"Kau yakin ini sepenuhnya salah Ruben?" Pemilik suara dingin itu berdiri di pintu koperasi. "Diaz, aku tahu sepak terjangmu dari SMP. Kau jangan memecah belah sekolah ini dan membuat opini buruk seakan siswa di sekolah ini sama kotornya sepertimu. Apa kau yakin tindakanmu ini bukan motif balas dendam atau kambing hitam? Kau benar-benar takut kehilangan dia. Aku tahu siapa kau." Anak kelas dua yang tadi menemui kami bicara. "Jaga sikapmu Diaz. Kau sudah membuat keonaran menjijikkan di sekolah ini. Terima saja kalau kau dikeluarkan dari sekolah ini. Minta maaf sama Ruben karena kau sudah mencoreng nama baiknya."

Diaz menatap siswa itu seperti melihat musuh lama. "Kau?!! Kau selalu saja menyudutkanku."

"Kematian kakakku akan selalu membayangimu." Kemudian anak itu pergi.

Bayu dan Alfa langsung menggiring Ruben meninggalkan koperasi.

"Ruben!! Kau harus tanggung jawab. Semua memang tidak percaya samaku, siapapun, karena aku gila. Tetapi nuranimu tidak akan mengingkari bukan? Kalau kau masih mencintaiku? Kau hanya tidak enak dengan enam sahabatmu!! Aku hanya ingin kau jujur kalau kau memang gentleman seperti yang mereka pikir."

Tujuh Sahabat tidak menggubris sama sekali. Detik itu juga gerombolan siswa di koperasi bubar. Entahlah Diaz.

Aku mengamati Ruben yang tak banyak bicara sejak kejadian pagi tadi. Aku coba membacanya seperti ia dengan mudah membacaku, tetapi Ruben terlalu tenang untuk itu. Aku bahkan lebih mudah menyelami hati dan pikiran Igo dibanding Ruben. Igo memang bastard tetapi dia tidak memiliki rahasia, sementara Ruben? Aku tidak tahu ada apa dibalik sikap tenangnya yang misterius itu.

"Ruben!"

Tujuh Sahabat menghentikan langkah.

"Namaku Faisal. Kau tidak perlu memikirkan ucapan Diaz. Ambisinya menggelapkan semuanya sampai dia sekacau itu. Kau tahu? Dia bahkan tidak punya teman di kelas dua."

"Terima kasih."

"Diaz mantan kekasih almarhum kakakku." Mata Faisal seperti menerawang masa lalu. "Kakakku meninggal karena tabrakan sehabis mengantarkan dia pulang." Rahang Faisal mengeras. "Aku kasihan samamu tahu kau pacaran sama Diaz, Ruben. Kau pasti akan jadi korbannya."

"Kenapa kau tidak bilang sejak awal?" Sahut Anggun.

"Kita tidak saling kenal bukan?"

Dia benar!

"Kau terlihat sangat membenci Diaz." Desak Anggun.

"Hubungan pacaran mereka tidak sehat. Aku tidak tahu kenapa kakakku sangat mencintainya padahal perangai Diaz sangat buruk. Kakakku rela melakukan apapun demi Diaz, entah apa yang didoktrinnya sampai tidak mau mendengarkan kami. Kematian kakakku membuat aku dendam. Jangan dengarkan satu kata pun racun dari bibirnya. Dia akan mengikat jiwamu dan kau sulit untuk lepas. Apapun ancamannya jangan pernah merasa bersalah apalagi kasihan." Faisal meyakinkan Ruben dengan tatapannya. Kemudian dia pergi.

"Faisal." Ruben menghentikan langkah Faisal. "Terima kasih."

Kami menahan nafas kami. Ini kenyataan pahit yang memukau.

"Kau jadi memikirkan Diaz, Ruben?" Bayu merangkul Ruben.

Ruben menggeleng. "Aku sudah melakukan kesalahan besar kemarin." Ruben memijit pelipis matanya. "Kalian menyelamatkan aku. Terima kasih."
***

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang