"Selamat pagi."
"Kamu dateng siang Va?"
"Iya. Ada apa pagi-pagi sudah kusut begini tampangnya?"
"Mutia dirawat di Rumah Sakit kena demam berdarah, Va. Kemarin malam masuk rumah sakit. Tadi pagi aku baru tahu pas jemput Mutia kerumahnya."
"Mutia. Oke aku hari ini dijemput kita naik mobil aku aja supaya cepet."
Bel!
"Oke sampai ketemu nanti."
Semua bubar.
"Vanya. Boleh bicara?" Ruben mensejajarkan langkahnya, kelas mereka searah.
"Boleh." Langkah Vanya tidak berhenti. Bahkan ia tidak menoleh.
"Apa kabar kamu Va?"
Vanya menghentikan langkahnya. Debaran jantungnya seperti bendera setengah tiang yang berkibas-kibas diterpa angin puyuh. "Baik." Jawab Vanya datar.
"Kalau kamu baik kenapa kamu menghindar dari aku?"
Vanya sekuat hati menata sakit yang sedang menusuk hatinya yang perih. "Kenapa kamu merasa aku menghindar?" Vanya akhirnya menatap Ruben tepat dimanik matanya. Tentu dengan tatapan luka. "Sudah bel, Ruben." Ia pun segera ke kelas tanpa peduli Ruben mematung di sana.
Ruben menahan nafasnya. Ia sendiri sakit melihat tatapan Vanya yang terluka.
Aku salah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.