Pagi ini Alfa terburu-buru, menerjang lorong-lorong area kos yang padat dengan jemuran tak beraturan, menapak keras setiap tanah becek dengan tapakan padat tanda ia terburu-buru, ia mengunyah permen mentol kesukaannya sambil merogoh receh disaku celana. Ia lirik jam murah meriah yang melingkar dipergelangan tangan tak sabar ingin cepat sampai sekolah. Ia raih udara menghentikan angkot yang ia tumpangi seperti sebelum-sebelumnya.
"Berangkat sekolah Al?"
"Iya Bu."
Alfa enggan memasang MP3 yang sehari-harinya menemani dia berangkat dan pulang sekolah, tetangga yang satu ini pasti sebentar lagi mengajak ngobrol sangkin ramahnya. Dan benar mereka mengobrol sampai akhirnya Alfa turun tepat di de.
"Alfa!" Sapa Vanya ketika mobilnya satu meter lagi tepat di depan gerbang.
"Hai Va, selamat pagi!" Alfa termangu melihat Vanya yang menyapanya dari Porche hitam dengan kecepatan lambat.
Va, tatapanmu laksana cahaya matahari menyinari wajahku yang tampak merona kemerahan tersipu malu. Mungkin kamu bisa menangkap kerianganku yang kau sapa pagi ini bahkan mungkin kau jelas sekali merasakan getaran suaraku yang berombak seperti air laut pasang.
Alfa menunggu Vanya turun dari mobil di depan gerbang sekolah.
"Alfa titip Vanya yah."
Alfa tak sanggup lagi, lututnya tidak dapat lagi tegak mendengar amanat Alvaro. "Siap Kak." Ia pun mengantar Alvaro pergi dengan sepasang matanya tanpa ia sadari Vanya menatapnya bingung.
"Kenapa Al? Kamu naksir sama Kak Alvaro?"
Alfa canggung. "Porche, Va. Keren." Alfa mengeles.
"Tumben pagi, Al."
"Lagi enggak betah di rumah."
"Ribut lagi?"
"Setiap hari."
"Kalau kamu ribut, kalau aku diem-dieman."
Alfa menoleh. "Tetapi kamu punya Alvaro."
"Kamu punya aku kok Al, untuk curhat kalau kamu butuh privasi."
Alfa menghentikan langkahnya, Vanya ikut berhenti.
Seandainya kamu bilang dengan alasan kamu memang menganggap aku lebih dari sahabat Va, aku pasti menceritakan semuanya sama kamu untuk berbagi rasa, tetapi aku enggak mau terlalu dalam memiliki rasa sayang ini untuk kamu Va, aku memilih persahabatan kita. Ruben mencintai kamu, aku jelas melihat itu setiap hari.
"Al."
"Suatu saat aku pasti cerita."
"Ada apa Al?"
"Ada apa?"
"Dua kali kamu bikin aku bingung."
Alfa ingat, pertama ketika hari traktiran Bayu dan Mutia jadian. "Jangan dianggap serius Va." Alfa menggamit bahu Vanya.
Vanya justru menarik tangan Alfa lembut. "Tetapi enggak selamanya orang terus-terusan bercanda Al." Vanya menatap Alfa tepat dimanik matanya. Alfa justru beralih dari tatapan Vanya. "Tatap aku Al, kamu menyembunyikan sesuatu."
"Vanya kita di sekolah, kita bicarain nanti di waktu yang tepat."
"Janji?"
"Kenapa harus janji?" Alfa memadamkan keingintahuan Vanya yang ia rasa hanya mencoba untuk membantunya keluar dari satu masalah bukan untuk menyelamatkan hidup dan perasaannya yang lebih bermasalah. "Kita ke kelas."
Vanya menyerah. Langkahnya disejajarkan dengan Alfa.
Tanpa mereka sadari, Ruben melihat mereka dari koridor depan kelas. Igo pun memperhatikan ketika ia masuk ke gerbang. Pagi yang mendung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.