Aku sudah siap berangkat ke sekolah. Solusi Alvaro tadi malam masih kupikirkan. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskan itu pelan memerintahkan diriku untuk tenang. Sambil berlari kecil menapaki tangga menyapa semua yang lewat dengan semangat pagi. Pagi ini hujan sudah turun tanpa kompromi. Koridor depan kelas ramai dengan jemuran payung aneka warna.
"Vanya!"
Aku meletakkan tas kemudian menghampiri keenam sahabatku.
"Aku pikir kau sakit. Kau telat. Alfa datang lebih dulu."
"Tidak aku baik. Kenapa kau tidak bangunkan aku Al?"
"Kau tidur seperti putri tidur. Kata Kak Al biar dia saja yang mengurusmu."
"Roland bersikap baik?" Tanya Mutia.
"Kau ada urusan apa dengannya?" Johan menimpali.
Aku melirik ke Ruben. Jelas tidak enak menjelaskan kejutan ulang tahun Igo.
"Dia minta aku menemani ke acara ulang tahun. Itu saja."
"Acara ulang tahun? Kenapa harus kau?" Johan menginterogasiku.
"Roland tidak tahu siapa yang mau diajak. Dia ingat aku, dia minta tolong."
"Yang penting kau aman." Bayu memberi senyum untukku. Aku membalasnya.
Didetik lain aku menatap Ruben. Dia menatapku kosong. Ooo My God! Aku bohong! Untung saja bel menyelamatkan aku dan kami langsung bubar, setidaknya aku punya waktu longgar untuk menenangkan diri dari tatapan kosong Ruben. Aku tahu ini memang salahku. Apa aku salah bersikap demikian dengan kekasihku? Tidak. Kesalahanku adalah aku sudah terlalu dekat dengan Ruben dan semua menganggap kami kekasih. Ini tidak mudah dihapus begitu saja. Huh!! Hujan, kau selalu datang membawa gundah gulana.
"Kau memikirkan sesuatu?"
"Tidak Anggun. Aku hanya bingung."
"Kenapa?"
"Papi menawarkan aku kuliah di luar negeri."
"Wah!! Terima Va. Siapapun bercita-cita ke sana. Lupakan beasiswa UI, kau lebih pantas di sana. Aku yakin kau lulus rangkaian test. Otak cemerlangmu itu layak."
Aku langsung membekap mulut Anggun. Suaranya hampir teriak dan mengundang tatapan sekelas.
"Kau bisa lebih kalem sedikit, Anggun?"
"Maaf."
"Ini rahasia. Aku ingin Mutia tahu tetapi dia pasti tidak bisa bohong sama Bayu. Anggun apapun alasanku kau mau menyimpan ini dari yang lain sebagai rahasia?"
"Rahasia?"
Aku mengangguk.
"Apa kau menyembunyikan sesuatu dari kami?"
"Apa kau akan tetap menjadi sahabatku?"
"Kau bicara apa?! Seburuk apapun, aku tetap sayang sahabatku, apalagi kau!"
"Kau yakin? Karena aku membuat kesalahan besar."
"Maksudmu?"
"Aku benar-benar tidak ingin kehilangan kalian."
Anggun menggenggam tanganku. "Apapun itu Vanya. Apa ini ada hubungannya dengan Roland dan Ruben?" Anggun menatapku tepat dimanik mata. "Aku curiga karena Ruben tampak murung setelah kau pergi bersama Roland kemarin."
"Bukan Roland. Tetapi Igo, Servagio Adam."
"Bastard?"
"Dia kekasihku." Aku menceritakan semuanya.
"Vanya."
"Aku bingung Anggun, aku tidak bisa memendam ini sendirian sekarang. Aku butuh teman berbagi di sekolah. Aku tidak tahu langkah apa yang harus aku ambil. Aku dilema. Tawaran Alvaro menjawab kebingunganku. Tetapi bukankah itu seperti aku lari dari kenyataan kalau aku tidak memberi tahu mereka? Tetapi kalau aku memberitahu, sama saja aku memberi harapan palsu pada salah satunya."
"Aku tahu apa yang ada dipikiranmu. Pantas saja selama ini kau dan Ruben tidak jadian. Ruben tangguh, dia cukup tahu diri menilai hubungan kau dan Igo."
"Dia hanya tidak ingin hubungan kami rusak lagi."
"Pantas Roland bersikap lembut kemarin. Kau melumpuhkan banyak hati pria."
"Aku sama sekali tidak senang dengan situasi ini."
"Aku tahu."
Aku menarik nafas panjang.
"Akan aku pikirkan. Kau sudah buntu kan?" Anggun menepuk bahuku. "Pastiku bantu. Hari itu kalau saja Igo tidak memanggilmu, aku sudah sekarat sama Mail."
"Yah. Kita seperti menarik kesimpulan dikelas tiga ini. Aku jadi bernostalgia."
"Masa SMA masa yang paling menyenangkan bukan?"
Hujan masih terus saja mengguyur bumi. Dan seharian ini kami hanya berlatih soal-soal, sepertinya para guru dan murid kompak untuk bersantai seharian ini. Aku pun dan Anggun memilih untuk curhat. Dari sekian soal kami hanya mengerjakan beberapa. Aku tidak sedang mood memutar otak.
"Aku jadi pingin makan mie ayam."
"Aku juga."
"Anggun, Vanya! Kalian ada apa?"
"Vanya pusing karena tadi belum sempat sarapan, Pak. Dia tidak bisa berpikir sama sekali. Karena hujan tadi pagi membuatnya buru-buru berangkat takut telat."
"Kau butuh sarapan Vanya?"
"Iya Pak. Boleh saya ke kantin?" Aku menginjak kaki Anggun.
"Baiklah. Silahkan. Anggun kau ikut?"
"Saya takut Vanya pingsan Pak."
"Temani Vanya kalau begitu."
"Terima kasih Pak.
Kami berdua keluar kelas.
"Kau pintar Vanya itu alasan paling logis."
Aku tertawa.
Ternyata banyak juga yang sudah duduk menikmati mie ayam pagi ini.
Hujan!
"Kalian bukannya lagi kelas?" Tiba-tiba Bayu dan Ruben berdiri di depan kami. "
"Anggun ngidam mie ayam, kita bikin skenario."
Kami berempat tertawa.
Pandangan kami bertemu. Aku dan Ruben. Kami duduk berhadapan. Aku menangkap sesuatu yang tak biasa dari tatapan Ruben. Aku hanya bisa tersenyum apapun yang dia pikirkan saat ini tentangku. Sekalipun kami sama-sama tahu, Igo. Ruben tidak menuntutku sekalipun dia pasti ingin tahu. Aku tidak ingin membahas.
Hujan turun semakin deras. Kami semakin betah duduk berlama-lama di kantin.
"Vanya. Kau stress?"
"Yah."
"Pray, Vanya."
"Thanks, Ruben."
Anggun dan Bayu saling bertatapan dengan ekspresi meledek.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.