Kelas Belajar Mengajar
Ini hari pertama kegiatan belajar mengajar setelah ospek. Beberapa siswa kelas satu yang baru sampai di sekolah bingung apa yang sedang terjadi di koridor kelas satu, mereka melihat siswa-siswi yang statusnya sama masih mengenakan seragam putih biru hilir mudikdengan berbagai ekspresi. Salah satunya Vanya, Ia mempercepat langkah.Ternyata pengumuman kelas baru untuk kegiatan belajar mengajar.
"Oow! Masih sekelas dengan Yudit dan Dinda." Gumam Vanya menuju kelas.
Di pintu ia melihat tempat strategis yang mungkin akan menjadi kursinya satu tahun ke depan. Deretan nomor dua dari pintu di baris ke tiga Vanya akhirnya mendaratkan tubuh.
"Kita sekelas lagi anak asing."
Vanya mengangkat wajahnya. Dengan tatapan elang sesuai pesan Alvaro, ia menatap Dinda. "Pagi Dinda. Apa kau tidak bisa lebih manis lagi? Sayang wajah cantikmu kalau pagi-pagi saja sudah judes." Tidak lupa membubuhkan senyum madu.
"Ooow..rupanya kau sudah berani yah."
"Kenapa harus takut?" Vanya berdiri. "Kita bahkan belum tahu isi otak masing-masing, jangan sepelekan aku Dinda. Kita tidak saling kenal sebelumnya bukan?"
"Kau mau jadi nomor satu di kelas ini?"
"Semua siswa di kelas ini pastinya mau jadi nomor satu, itu alasan kita semua memilih sekolah ini. Aku tidak mau ribut sama siapapun, tolong jangan ganggu aku."
"Kau musuhku!"
"Terserah. Apa kau sudah dapat sepuluh teman di sekolah ini sampai kau bisa memutuskan punya satu musuh di minggu kedua sekolah?"
"Aku tidak sepertimu, gadis asing!"
"Terserah. Aku tidak peduli. Aku hanya mau belajar di sekolah ini. Angkat kaki dari mejaku sebelum kau mendapat hukuman. Gurunya sudah di pintu."
Dinda dengan bengis kembali ke tempatnya.
Vanya langsung duduk sambil menata emosi yang ditahan sekuat Alvaro meyakinkan adik perempuannya kalau ia kuat. Ini demi tekad yang kemarin bulat mengambil keputusan untuk sekolah di SMA Negeri Unggulan bukan melanjutkan di SMA Internasional yang satu yayasan dengan SMPnya.
Hari ini pelajaran Fisika dijam pertama. Vanya sangat suka berhitung, menurutnya itu seperti teka-teki dan ia melonjak girang ketika angkanya dapat. Guru Fisika ini sepertinya menyukai Vanya karena gadis itu tertarik dengan pelajarannya. Dipertemuan pertama, beliau seperti yang lain menatap siswi berseragam beda itu aneh, mungkin akhirnya menemukan si asing yang ternyata duduk di kelas ini. Dan ketika mulai melontarkan rumus-rumusnya ia seperti menantang Vanya! Dan dia kalah! Sekarang ia selalu memberikan senyumnya untuk gadis itu. Itu terjadi sejak ia mengetes Vanya mengerjakan soal di depan tanpa persiapan apapun. Itu menjadi kekhasan metode mengajarnya. Siswa kelas satu mendengar desas-desus itu setelah beberapa kelas mengeluh. Dan senior IPA mentertawakan mereka yang mulai stress dengan metode Pak Sarwin.
Sudah hampir dua minggu sekolah tetapi aku belum berani ke kantin, hanya berani keliling area kelas satu yang letaknya di lantai dua sebelah kanan gedung. Aku mencoba menyapa semua siswa seangkatanku dengan senyum tetapi hanya sepuluh jari yang membalas senyumku tulus. Aku benar-benar tenggelam.
Vanya sedang menunduk ketika guru matematika lewat, bahkan tidak menggubris karena sedang serius memecahkan soal-soal. Diam-diam guru matematika itu mengamati. Vanya membiarkannya berdiri di sana dan terus fokus. Dan ketika ia mendapatkan jawaban, ia sedikit memukul meja dan menggumam senang. Mendongak. Tuh kan gurunya masih di sana! Sang Guru pun tersenyum, kemudian memberikan soal lain. Vanya menerima dan mulai fokus. Ketika bel berbunyi ia menyerahkan jawaban. Sang Guru tersenyum lagi dan mulai menyukainya.
Menurutku kurikulum di sekolah ini tidak terlalu rumit seperti sekolahku dulu. Bukan sok pintar tetapi aku mengakui itu ketika aku bedah buku di rumah. Alvaro sampai geleng-geleng karena aku sangat rajin belajar. Alvaro pikir sekolah unggulan ini membuatku serius, padahal bukan itu. Aku ingin dianggap di sekolah ini. Hanya itu! Menurutku inilah satu-satunya cara agar aku dianggap. Yah!
***
Alfa duduk di paling belakang tepatnya di pojok kelas. Kali ini ia punya banyak waktu memperhatikan suasana kelas baru. Dia belum tahu siapa yang akan duduk semeja dengannya untuk satu tahun ke depan, tetapi yang pasti saat ini ia mulai menikmati pemandangan tragis dua siswi yang sedang bertengkar.
Oh, berani juga dia berantem.
"Kosong?"
Alfa mengalihkan tatapannya tenang. "Silahkan."
"Ruben."
"Alfa."
"Perempuan."
"Si rambut hitam yang mulai duluan."
Ruben dan Alfa menatap pertengkaran itu dengan tenang, menikmati.
"Aku pikir salah satunya akan menjambak."
"Masih pemanasan."
Derai tawa mengiringi langkah guru yang sedang menuju mejanya.
***
Mutia dan Anggun bertatapan ketika Vanya dan Dinda bersitegang. Tak mereka kira jawaban Vanya begitu cerdas menjawab nada ketus Dinda yang sangat tidak bersahabat dihari pertama mereka sekelas. Ini miris sekali sebagai kesan pertama.
"Aku pikir kita akan bikin gangstar kecantikan di kelas ini dengan mereka berdua. Sayangnya si cewek berambut lurus hitam itu terlalu sok."
"Dari kemarin aku hanya ingin berteman dengan Vanya. Auranya biru."
"Memang aura biru itu apa Mut?"
"Enggak tahu, adem aja. Daripada yang satunya lagi, merah seperti api."
Tawa Anggun meledak lagi.
"Kau mau selanjutnya Dinda melabrakmu karena tawamu yang menonjol?"
"Kalau si Dinda itu melabrakku, Vanya tahu kalau dia punya teman di kelas ini."
"Kapan kita mengajaknya berteman? Kasihan dia sendirian terus."
"Kita perhatikan dulu Mut, apa dia benar-benar bisa kita ajak berteman."
"Setuju."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.