Prolog -- Di kelas 1.8 SMA Negeri

18.6K 343 12
                                    

Pagi setiap matahari terbit bersamaan dengan ayunan langkah gerombolan pedansa jalanan aku berharap asa singsingan fajar masih penuh untuk menyemangatiku di atas jejeran roda yang berputar kilat. Sirine fals dan teriakan sumbang meramaikan pagi. Warna warni kostum mengalihkan waktu sesaat memotret kota ini.

Aku berdiri di bawah terik matahari menyambut hari pertama tahun ajaran baru. Menikmati formasi Paskibra yang bergerak gagah membentuk formasi garuda dengan derap langkah patriot. Janji Siswa pun terucap lantang menggema ke penjuru sekolah. Ini kesan pertama yang mencenangkan!

"Upacara selesai."

Upacara selesai. Itu berarti pertunjukannya juga selesai. Kepadatan di lapangan mulai mengurai ketika semua siswa kembali ke kelas dan para guru menuju ruang guru. Aku tersenyum ketika melihat seragam Korpri para guru, bangunan sekolah, penampilan sederhana siswa-siswi dan semua printilan di sekolah ini yang menyadarkan kalau aku berada di level yang berbeda sekarang.

"Vanya. Vanya. Vanya."

Aku berusaha biasa saja ketika beberapa siswa bercelana panjang abu-abu memanggil namaku dengan nada menggoda, mudah saja bukan? Semua siswa kelas satu mengenakan kalung nama. Dan satu hal yang perlu dicatat, seragam putih biruku sangat mencolok, motif kotak-kotaknya membuat aku asing.

Hari pertama ini aku masih jalan sendiri menelusuri koridor menuju kelas. Aku belum berkenalan dengan satu orang pun, entahlah aku merasa mereka menatapku asing padahal aku tidak melakukan apapun yang aneh. Namun begitu, bibirku tetap melengkung sempurna dengan riak hati yang bahagia.

"Selamat Pagi!" Sapa dua kakak kelas cowo dengan pin OSIS di sakunya.

Setelah mereka memperkenalkan diri barulah aku tahu kalau mereka yang menjadi Pembina kelasku selama tiga hari ke depan. Illas, kelas III IPA 2, dan pendampinganya Aulia, kelas II. Mereka terlihat berwibawa.

"Sekolah kita menjunjung tinggi akademis dan moral sehingga tidak ada kekerasan." Illas menjelaskan dengan cara berdiri yang enak dilihat. "Mengingatkan sekali lagi. Dihari ketiga MOS, akan ada kelas terbaik dan kelas terfavorit yang dipilih oleh Panitia Ospek dan OSIS. Tunjukkan kreativitas kalian!"

"Siap Kak!" Sahut kami.

"Tugas pertama." Kali ini Aulia yang bicara. "Setiap kelas diberi tugas membuat sebuah pertunjukkan dan satu yel-yel. Ingat yah hanya satu jam karena dijam berikutnya semua kelas satu akan ke lapangan dan berlomba. Jurinya kelas dua dan tiga. Bisa dimulai dari sekarang.

Kelas kami mulai membaur ketika Aulia menyelesaikan kalimatnya. Termasuk aku, aku pun langsung memutar bangku. Kemudian kami mendengar instruksi dari seorang yang paling berani di kelas ini, Yudit. Dia vokal sekali di kelas. Mungkin dia punya latar belakang yang kuat sehingga seberani itu, aku sih ikut saja.

"Kau, siapa namamu?" Kaget. Nada suara Yudit terdengar bossy. Aku respon menatap Yudit dengan tatapan tajam, dia kan bisa baca kalung namaku!

"Vanya." Aku menahan suaraku agar tidak terdengar kesal.

"Kau bisa apa untuk kelas kita? Ada ide?"

Lidahku tertahan. Sombong sekali nada anak ini! "Belum ada."

"Sudah kukira! Besok kau ganti seragam kotak-kotak birumu supaya tidak terlalu mencolok mata, itu akan menyelamatkanmu dari kebodohanmu."

Aku jelas tersinggung dengan ucapan siswa di depanku ini. Ingin rasanya menampar mulut besarnya tetapi aku masih belum berani, ini hari pertama dan aku mengaku kalau seragam ini membuatku mencolok sehingga aku terlihat asing. Detik itu juga aku minder. Aku yakin air mukaku menyiratkan malu dan mataku sudah mulai banjir. Tetapi aku tahan sekuatnya. Harga diri.

Keputusan sudah bulat. Kelasku menampilkan sebuah operet lawak diselingi lagu dan tari. Aku ikut menari, apa yang dia tentukan aku ikut saja daripada terjadi pertengkaran. Yel-yel heboh kelas kami pun sudah rangkum. Beberapa tertawa dan toast ketika akhirnya merampungkan tugas pertama. Tetapi aku biasa saja, tidak ikut tertawa apalagi toast. Aku langsung memutar bangku dan menenangkan diri. Aku merasa di kelas ini aku tidak dianggap. Sedih!

"Siap?" Tanya Aulia.

"Siap, Ka!" Sahut kelasku semangat. Aku sendiri biasa saja. Suara Yudit tadi masih terngiang-ngiang dan jelas masih perih dihatiku.

Aku masih sendiri. Tidak ada siswi yang mengajakku. Sedih sekali, mau nangis rasanya. Apalagi kalau lihat seragam ini, ingin rasanya beli seragam baru percis seperti yang Yudit katakan tadi.

Aku membiarkan matahari membakar kulit, tidak peduli sengatnya yang perih, lebih perih nasibku hari ini. Untung saja pertunjukkan beberapa kelas yang sudah tampil bisa membuat kami tertawa sehingga aku sedikit melupakan yang sudah terjadi. Sekalipun aku hanya senyum lebar tanpa suara.

Giliran kelasku.

Sorak-sorai anak kelas II dan III terdengar lebih kencang dari suara kami sendiri. Belum lagi ada segelintir yang meneriakkan Vanya ketika aku menari. Aku berusaha tidak peduli. Penampilan kami ditutup dengan yel-yel. Tepukan riuh rendah, aku rasa ini tepukan paling heboh selama perlombaan berlangsung.

"Baik, terima kasih adik-adik kelas satu yang sudah memberikan pertunjukkan terbaik untuk sekolah..." Salah satu Panitia Ospek memimpin acara dengan rasa percaya diri yang besar. Namanya Anneke, sepertinya dia kesayangan sekolah ini.

"Tiba saatnya kita menentukan juara dan hasilnya dinilai dari sorak-sorai meriah kakak-kakak kelas II dan III." Suara Anneke tenggelam, sama nasibnya seperti kelas kami tadi. Aku ikut tepuk tangan ketika Anneke mengikuti alur euphoria yang bergelombang kencang di sekolah ini, ia meminta tepuk tangan satu sekolah dengan semangat berapi-api.

Semua kelas diberi tepukan meriah. Dan ketika Anneke menyebut kelas kami, bukan hanya tepuk dan teriak yang menggema, entah alat apa yang mereka pakai untuk memberi hak suaranya pada kelas kami. Otomatis kelas kami melompat senang sambil melihat ke asal suara. Kelas tiga IPS ternyata. Kami pun maju karena semua kelas tiga mendadak nyanyi menyuruh kami maju. Panitia merasa acara mereka berhasil karena memikat perhatian kelas II dan III, mereka pun menggiring kami maju. Dan kami melakukan yel-yel kami sekali lagi.

"Auu!!" Seorang siswa menabrakku judes, sekilas aku membaca kalung namanya. Dinda. Tampangnya sangat meremehkan, pergi dengan angkuh tanpa maaf.

Aku mengusap peluh yang membutir dikeningku. Lelah juga. Kami sudah kembali ke kelas dan siap menerima tugas selanjutnya. Seisi kelas masih mengoceh sementara aku mengitarkan pandanganku melihat aktivitas kelas. Tidak ada yang bisa aku ajak ngobrol, mereka sudah bergrup- grup. Aku hanya duduk manis di kursi.

"Selamat!" Illas dan Aulia masuk kelas dengan wajah sumringah. Spontan kelas kami menyalami IllAS dan Aulia. Mereka berdua kaget disambut seperti ini. Setelah suara bass Illas mendominasi kelas barulah suasana netral kembali.

"Terima kasih untuk penghormatan tadi. Ini terakhir kali saya Pembina MOS dan kalian sudah mencetak sejarah begitu berkesannya." Senyum Illas lepas dengan satu lesung pipi di pipi kanan yang membuat itu semakin manis.

"Sama-sama Kak!" Sahut semuanya. Kebanyakan suara dari belakang.

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang