Ruben Matthew

1K 58 5
                                    

Senin ini aku menculik Vanya ke atap. Aku sengaja bawa motor hari ini.

Kami berdua di atap sekarang. Hanya kami berdua. Aku menatapnya lama. Wajahnya kini sudah ceria, binar matanya menyala cerah tak lagi padam.

"Untuk apa kau bawa aku ke sini?"

"Aku mau minta maaf khusus padamu."

Vanya mengalihkan wajahnya. "Apa dia tahu ini?"

"Tidak."

"Kau menyesal?"

"Aku justru merasa lega."

"Tapi kau menangis."

"Aku menangis karena aku dibodohi selama ini, aku berdosa pada kalian."

"Kau terlalu ambil resiko."

"Cara frontal ini yang bisa aku pakai untuk membongkar kebenaran dari Diaz."

"Kau lebih mengenal dia."

"Maafkan aku."

"Tidak apa-apa."

"Aku jahat."

"Tidak. Cinta itu buta."

"Yah. Persahabatan ini bisa diteruskan Vanya?"

"Ya."

"Seperti dulu?"

Vanya berpikir. "Tidak. Beri aku waktu untuk menyembuhkan lukaku."

"Kau benar-benar terluka."

"Apa aku berhak?"

"Dari dulu."

Vanya menatap hujan. "Kenapa?"

"Karena aku sudah melewatkan momen sebagai kenangan hujan."

Vanya senyum tipis. "Hujan. Aku tidak punya harapan sama hujan."

"Kau punya rahasia."

"Rahasia?"

"Kita sahabat."

"Sahabat." Vanya mengangguk.

"Aku takut kehilanganmu."

"Kenapa?" Mata Vanya menatapku.

"Aku tak bisa melihatmu sakit."

"Kenapa?"

"Matamu tidak bisa berbohong."

"Kenapa?"

"Karena hanya kau Vanya."

Kami berpelukan sangat erat.
***

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang