D I A Z

1.2K 57 0
                                    

"Apa yang kau lakukan di kelasku? Ini kelas dua Diaz." Ruben kaget. Darahnya hampir meledak di puncak kepala ketika Diaz sudah duduk di kursinya sementara teman-teman sekelasnya menatap Ruben dengan tatapan mencemooh.

"Ada hal penting."

"Sepenting apa sampai kamu mempertontonkan dirimu begitu agresif?"

"Aku tidak peduli. Aku tidak bisa tidur karena kau." Diaz menarik Ruben. Namun Ruben menepisnya. Dan Diaz terbelalak. "Kak Ruben?"

"Tujuan aku ke sekolah untuk belajar bukan pacaran. Nilai-nilaiku kacau semester kemarin. Kau juga sebaiknya bereskan nilai-nilaimu. Kalau kau mau pacaran saja, bukan aku orangnya, cari yang lain. Pintunya disebelah sana." Suara Ruben dingin.

Mata nanar Diaz membalas raut wajah Ruben yang tidak bisa ia mengerti belakangan ini. Ada sesuatu yang harus ia cari tahu tentang perubahan Ruben. Ia harus mengambil hati Ruben lagi. Air matanya menetes membanjiri pipi mengundang tatapan lirih teman sekelas Ruben. Ruben hanya duduk mengatur emosinya, tidak peduli sekitarnya yang sedang sibuk bergunjing.

"Ruben!"

"Johan?"

"Apa yang terjadi? Aku berpapasan dengan Diaz di pintu. Dia menangis."

Ruben hanya menarik nafas panjang.

"Aku ke sini tidak ingin membahas itu. Aku hanya ingin tanya apa kau tahu sesuatu tentang Alfa? Tadi seorang perempuan mengantar surat sakit ke guru piket, berpapasan pas aku sampai."

"Alfa enggak masuk sekolah?"

"Kau juga enggak tahu?"

"Enggak. Apa menurutmu dia berantem sama Bapaknya lagi?"

"Aku pikir juga begitu. Ini pertama kali Alfa enggak sekolah. Sesuatu pasti terjadi padanya. Aku berharap dia baik-baik saja. Tapi bukankah dia juara kelas kemarin?"

Ruben menatap Johan. "Aku sudah lama jauh dari kalian. Maafkan aku."

Johan menepuk bahu Ruben. "Kami tidak pernah pergi Ruben, kami selalu ada disini menunggu kau pulang. Kalau kau punya masalah kau tahu harus pulang kemana." Sekali lagi Johan menepuk bahu Ruben.

***

"Vanya tidak ikut. Dia dijemput Kak Alvaro tadi." Jelas Johan ketika semua sudah kumpul. "Aku sudah dapat alamat Alfa dari Tata Usaha. Kita jalan sekarang."

Ruben, Bayu, Johan, Mutia dan Anggun melangkah gontai. Persahabatan mereka sangat lesu hari ini. Tanpa Vanya. Alfa enggak sekolah. Miris sekali.

"Kak Ruben!!"

Langkah kelimanya terhenti.

"Masalah kita belum selesai."

"Aku tidak punya waktu."

Diaz mengamati Mutia, Anggun, Bayu dan Johan dengan tatapan mengerikan. "Jadi benar kan? Kau berubah karena mereka. Aku sudah bisa menebak. Aku tidak sangka kau yang aku anggap sempurna tega."

"Apa maksudmu?" Anggun angkat bicara. "Kalau kalian punya masalah selesaikan sendiri. Jangan bawa-bawa kami. Dari awal kami tidak peduli apa yang terjadi sama hubungan kalian. Sekalipun hubungan kalian sudah merusak persahabatan kita." Diakhir kalimatnya Anggun menatap Ruben protes.

"Hei tunggu!" Diaz menahan Anggun. "Apa makna pelukanmu dengan pacarku?" Tanya Diaz tajam. "Kau mempengaruhi pacarku? Kau racuni pikirannya untuk menjauhiku? Kau atas namakan persahabatan dengan sikap licikmu itu? Penggoda!"

"Ruben?" Anggun menatap Ruben. "Dia yang mulai duluan, jangan salahkan aku." Anggun mendekati Diaz. "Kalau kau bersikap manis, aku tidak akan membenci sikapmu yang sudah merusak persahabatan kami. Kau yang meracuni Ruben dengan sikapmu yang posesif. Kalau kau cemburu aku dan Ruben pelukan, kau lebih cemburu kalau kau tahu apa yang sebenarnya ada dihati kekasihmu." Anggun mendaratkan telunjuknya didada Diaz.

"Kau tidak membelaku?" Tanya Diaz heran melihat Ruben.

Ruben memainkan rahangnya. Menyusun kata yang pas untuk bicara pada Diaz. "Aku sudah bilang jangan dekati aku lagi. Ada apa kau masih mengejarku?"

"Ada apa?" Tanya Diaz heran. "Sikapmu samaku beberapa hari ini menjauhiku. Kau tanya ada apa? Aku minta penjelasan."

"Aku bukan suamimu."

"Tapi kita masih pacaran dan hubungan kita hampir enam bulan."

"Berhenti menggangguku Diaz. Menurutku hubungan kita sudah berakhir."

"Menggangu? Kau anggap aku apa selama ini?!"

"Jangan pancing kemarahan aku!" Ruben menekan nada disetiap katanya dengan tegas. Sorot matanya tegas menunjukkan sikap kalau dia tidak suka dikuasai.

"Kita jalan sekarang." Ruben tegas mengajak sahabat-sahaabatnya.

"Lagi-lagi kau tega?!!" Teriak Diaz di belakangnya.

***

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang