Ooh Tuhan kenapa SMA hanya 3 tahun saja??

1.3K 62 0
                                    


"Vanya! Alfa!"

"Kau lulus Vanya!! Kau lulus Alfa"

Kami semua teriak. Kami semua lulus. Aku langsung berlari menuju papan pengumuman. Aku lulus!!! Aku senang sekali!! Aku bahkan sampai menitikkan air mata melihat kami semua melompat senang. Dan hatiku tergelitik lagi karena ini hari terakhir kami mengenakan seragam putih abu-abu.

Ruben mengulurkan sapu tangan.

Aku malah memeluknya. "Kita lulus Ruben." Ruben memelukku erat.

"Kau menangis?"

"Hari ini aku bahagia sekali."

Ruben mengusap punggungku. "Kau yang terbaik, Vanya. Selamat!"

"Maksudmu?"

"Kau mengalahkan Windi. Dia pendampingmu."

"Kau juara tiganya?"

"Tidak. Sekolah ini memiliki three angels."

"Lalu kau?"

Pastinya kita semua lulus."

Kami pun tertawa.

Aku dan Ruben duduk bercanda di depan perpustakaan. Ini kebersamaan kami yang tidak tahu apakah akan selalu ada nantinya.

"Kapan kau terima pengumuman polisi?"

"Minggu depan."

"Pasti masuk." Aku menatap Ruben sambil tersenyum. Kami bertatapan lama.

"Apa yang ada dipikiranmu?" Tanya kami berdua. Kami tertawa.

"Kau mau ke atap?" Ruben mengajukan pertanyaan itu tetapi matanya lurus.

"Yang lain?"

Ruben langsung menarikku.

"Aku bawa mobil." Aku memberikan kunci mobilku pada Ruben.

Kami melihat lima sahabatku melambaikan tangan.

"Kami tunggu kalian di rumahku!" Teriak Bayu. Kami mengangkat jempol.

Kami melesat cepat menuju rumah Ruben.

Ruben malah meninggalkan aku. Aku menyusul, segera berlari mengejarnya. Dan ia menangkapku ketika kami sudah sampai di atas. Kami tertawa. Mesra sekali.

"Kau mau temani aku melihat pengumuman?"

"Aku kan sudah berangkat Senin nanti."

"Akan ada hari yang lebih indah kalau hari itu tidak terjadi."

Suara itu begitu datar. Aku merasa ada sebuah keikhlasan di kalimatnya.

"Aku tahu Igo pasti kembali. Aku tidak memaksamu memilihku. Menjadi sahabatmu dan kau menerimaku kembali setelah kesalahanku kemarin itu sebuah anugerah buatku." Ruben menatap jendela. Aku duduk di tepi ranjangnya.

"Biarlah kita tetap seperti ini. Aku tidak mau persahabatan ini rusak karena kau memaksa untuk memilihku. Menjadi sahabatmu adalah takdirku. Kita merasa sangat nyaman dengan hubungan ini bukan?"

Aku mendengar ketulusan dari suara sahabatku ini. "Aku tidak pernah mendengar ketulusan dari siapapun. Kau memiliki itu."

"Aku hanya tidak ingin kau resah dan menyesal dan semua akan berantakan. Tenang, aku tidak akan pernah berubah lagi. Kemarin adalah hikmat terbesar sepanjang masa mudaku. Dan hari ini aku tidak akan melakukan kebodohan lagi untuk esok. Termasuk kau."

"Terima kasih Ruben."

"Kau harus bahagia, Vanya."

"Kau juga harus bahagia."

Kami tertawa kecil. Di tempat kami masing-masing.

"Untuk terakhir kalinya, kau mau berpasangan denganku di hari perpisahan nanti?" Ruben mengajukan penawaran itu sambil memutar tubuhnya kemudian menjuruskan pandangannya tepat dimanik mataku. Macho!

"Pasti."

Kami sama-sama mendekat.

"Terima kasih Ruben, kau sudah sangat melindungiku selama dua tahun ini."

"Yah, satu tahun aku alfa yah."

"Hampir."

Ruben menarikku kepelukannya, lantas aku menghempaskan tubuhku.

"Aku akan merindukan pelukanmu lagi pasti."

"Aku akan membuka tanganku lebar-lebar kalau kau mau aku kunci seperti ini." Ruben mengunci pelukannya sampai aku tidak bisa bergerak dan meloloskan diri. Kami tertawa kencang sekali. Sampai aku benar-benar lelah.

Kami sama-sama diam. Seperti merenungi semua yang kami lalui bersama.

"Terima kasih." Kami mengucapkan itu bersama dan menoleh bersama.

Dan kami menatap di titik yang sama. Tepat dimanik mata. Jantungku berdegup. Aku juga melihat wajah Ruben melembut dalam senyum. Kami saling merapat. Melepas semua yang kami rasa untuk sebuah perpisahan. Ia merengkuhku semakin dalam kepelukannya. Kami semakin tidak ingin melepas, ini kesempatan terakhir, aku ingin memilikinya hari ini saja, sekali ini saja. Sekalipun ini salah.

"Kau yang terbaik dan terindah untukku Vanya. Aku tidak akan merusak apa yang sudah kita bangun sejauh ini." Ruben mengecup pipiku lembut. "Tidak akan ada yang mundur dari persahabatan ini."

Aku terpaku. Dia begitu tulus.

"Kita pergi sekarang!" Ruben menarik lenganku lembut.

Kami melesat ke rumah Bayu.

"Kalian akhirnya datang juga pas sekali ketika makanan sudah matang. Makan."

Aku langsung menyendoki nasi ke piring. Masakan Ibu Bayu termasuk makanan favorit kami. Apalagi ayam bumbu bali pedas dan kentang goreng garing gurih.

"Setahun lagi aku datang aku mau kembali makan di sini lagi Bayu."

"Kau dari tadi tidak berhenti mengunyah Vanya."

"Di Amerika aku tidak mungkin makan bakwan seenak ini." Aku menyikut Ruben.

"Jadi dong kau dan Alfa kuliah di Harvard?" Tanya Johan, Anggun dan Mutia.

"Jadi."

"Kalian beruntung sekali!"

"Terima kasih."

***

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang