Ruben sadar Vanya tetap saja menganggapnya sahabat terbaik

1.2K 56 0
                                    

Ruben

"Tumben Ben, cowo-cowo saja! Mau pamer motor baru?" Tanya Bayu sambil melihat-lihat sebuah moge dengan taksiran harga ratusan juta yang terparkir di halaman rumah ruben. "Ini motormu atau sitaan? Pinjam asyik nih."

"Diminum dulu." Ruben menyuguhkan empat botol minuman segar.

"Tumben juga beliin minum. Mau apa Ben?" Sahut Bayu kemudian.

"Ini soal hati."

"Kau jadi mau nembak Vanya serius?" Tanya Johan dan Bayu.

"Diaz."

"Diaz? Siapa Diaz?" Cecar Johan dan Bayu.

"Anak kelas satu, aku jadi wakil Pembina pas MOS di kelasnya."

"Kau langsung mau nembak dia sementara MOS baru selesai dua minggu lalu?"

Ruben mengangguk.

"Vanya apa kabar?"

"Vanya hanya anggap aku sahabat. Aku enggak mau merusak persahabatan kita."

"Jadi perjuangan kelas satu kemarin itu sia-sia dibandingkan dua minggu?"

"Kita berdua sudah pernah bahas ini Bay, tetapi Vanya punya prinsip tegas kalau kami hanya sebatas sahabat, aku enggak lebih spesial dari kalian bertiga."

"Tetapi kalian sudah sangat dekat. Selama ini satu sekolah juga tahu kalau kalian sangat dekat, kamu mau bikin Vanya kacau tiba-tiba kau pacaran sama kelas satu?"

"Diaz membalas perasaan aku."

"Dengan apa dia membalas?"

"Kita sudah jalan bareng dan Diaz menunjukkan kalau dia .."

"Agresif?"

"Jo."

"Siapa sih adik kelas yang enggak keleper-keleper dideketin Ruben."

"Enggak begitu juga Jo."

"Jadi? Aku pikir Vanya hanya menunggu untuk kamu menyatakan cinta, apa kamu pernah nyatakan cinta?"

"Aku pernah pancing dia. Dia masih berkutat sama sesuatu, rahasia besarnya. Aku menghargai prinsip dan rahasianya."

"Ben. Kau serius ? Kalau Vanya patah hati?" Johan menegaskan.

Bayu menggeleng. "Feeling aku jelek, sori Ben, ini jujur."

"Kata hati kamu ikutin Ben, jangan ego kamu." Johan menutup obrolan sore ini.

Alfa hanya memperhatikan ekspresi Ruben. Dia tidak banyak komentar.

Ruben membuka memorinya yang tersimpan dengan sangat baik tentang persahabatannya dengan Vanya selama kelas satu, yang tidak pernah bisa ia lupakan hanya dalam waktu dua minggu saja. Tetapi dia sadar Vanya tetap saja menganggapnya sahabat terbaik, bukan pacar yang diinginkan, Vanya tidak akan pernah menganggap dirinya lebih. Air mata tangisnya kemarin hanya untuk Igo, yang memang juga memiliki cinta yang begitu besar. Ruben melihat bagaimana Igo begitu mengkhawatirkan Vanya ketika dia jatuh pingsan di kantin, sementara Roland, Pandu dan Mail begitu tercengang menonton. Ruben memilih mundur dan membuka lembaran baru. Dan keputusannya terjawab dengan hadirnya Diaz.

***

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang