"Boleh aku minta waktu sebentar?"
Pertemuan serius malam ini tanpa kehadiran Vanya. Besok ulangan semester musim pertama, Ruben mengumpulkan enam sahabatnya usai latihan kempo.
"Aku mau bicara serius." Ruben seakan berat mengatakan itu tetapi ia tahu ini harus dibicarakan demi persahabatan mereka. "Aku akan menyatakan perasaan aku sama Diaz, adik bimbingan MOSku."
Tentu saja pertanyaan Ruben memancing emosi kelima sahabatnya sekalipun mereka membungkus itu dengan kesabaran.
"Diaz siapa Ben? Apa kau yakin? Bagaimana dengan Vanya?" Tandas Anggun.
"Kalian pernah lihat dan dengar sendiri kan ? Ia hanya menganggapku sahabat."
"Aku pikir itu hanya usahamu mengalihkan pembicaraan soal Igo." Sahut Mutia.
"Kau yakin? Kalian sangat dekat Ben. Kau tidak pernah benar-benar menyatakan perasaanmu padanya kan? Kalian hanya berandai-andai absurd." Timpal Anggun.
"Anggun, semua sudah jelas. Vanya membatasi kedekatan kami, itu kode yang jelas buat aku tahu posisiku. Kenyamanan kami memang atas dasar persahabatan. Aku yang salah mengartikan sehingga opini semua orang mengarah kesana."
"Jadi kau benar-benar yakin kalau Vanya tidak ada rasa?"
Pikiran Ruben melayang pada Igo hari itu. Igo tidak peduli pertanyaan curiga dari semua orang yang menyaksikan kejadian itu, khususnya kelas tiga. Ruben masih ingat jelas bagaimana Igo kebingungan dan bolak-balik minta PMR untuk mengecek Vanya. Apa seorang secret admirer senekat itu? Sementara ia tahu Roland, sahabatnya selalu mengicar Vanya. Pasti ada sesuatu!
"Yah, aku yakin." Jawab Ruben tegas.
"Jadi kau akan melepas Vanya?"
"Melepas?" Tanya Ruben bingung dengan kalimat tanya Johan.
"Selama ini kau mendekatinya bukan?"
"Aku tidak mau ada paksaan."
"Dan kau sebegitu cepat beralih? Pelampiasan kah Diaz mu itu?"
"Aku menangkap chemistry yang hebat dari dia."
"Kau tidak takut tersetrum?"
"Maksudmu?"
"Aku tidak benar-benar yakin kau mempunyai rasa yang sama seperti kau ke Vanya. Apa yang membuatmu yakin ingin menembak Diaz?"
Ruben diam. Dia tidak bisa menjawab.
"Kau ragu, kau tidak perlu menjawabnya."
Ruben memainkan rahangnya. "Maafkan aku sudah mengumpulkan kalian untuk acara tidak penting seperti ini. Aku melakukan ini semua demi persahabatan."
"Aku tahu. Kau begitu mencintai kami tetapi kau harus pastikan dulu kalau kau memang mencintai Diaz, kasihan dia kalau kau masih terbayang-bayang Vanya. Kau paham maksudku Ruben?"
"Ya Mutia, terima kasih. Aku sudah bulat ambil keputusan ini."
"Jadi?" Tanya keenamnya.
"Aku akan menyatakan rasa pada Diaz."
"Kenapa kau seyakin itu sama Diaz? Apa dibelakang kami kau sudah membuat sebuah pendekatan khusus?" Tanya Mutia curiga, berharap Ruben jawab tidak.
"Kami sudah pendekatan dan hubungan kami sudah mengarah ke hubungan serius. Aku tidak pernah main-main menjalani hubungan. Aku akan memperkenalkan Diaz pada kalian. Terima kasih untuk malam ini."
***
Alfa tidak habis pikir dengan pertemuan malam ini. Ia kepikiran Vanya.
Ruben. Ruben. Ruben. Sebegitu frustasinya kah kau? Igo. Kenapa dia pergi begitu saja? Lalu Vanya, kenapa kau begitu naïf Va?!
Alfa menulis. Ia mengungkapkan semuanya dalam sebuah lagu.
"Alfa. Bukankah besok kau ulangan? Kenapa kau bermain gitar?!"
Soundsytem itu bahkan sudah tidak merobek gendang telinga Alfa lagi. Ia sudah terbiasa dengan keadaan rumahnya yang semakin hari semakin seperti neraka. Sekalipun Alfa sudah menaikkan jumlah nilainya, orangtuanya tetap saja tidak pernah puas! Dan semester ini mereka sudah mendaftarkan Alfa kelas bimbingan pelajaran.
***
"Ben."
"Mutia."
"Aku mau bicara sesuatu boleh?"
Ruben mengangguk.
"Aku kepikiran sesuatu, bukannya mau ikut campur tapi mungkin bisa menguatkan alasan kamu sama Diaz."
Ruben menatap Mutia.
"Apa kamu curiga hubungan Igo dan Vanya?"
Ruben mengangguk. Ia sempat diam sesaat.
"Aku pikir begitu, Ben. Kamu enggak mau ada kesalahan?"
"Aku rasa mereka menyembunyikan sesuatu dibelakang kita semua. Vanya demi kita dan Igo demi Roland dan yang lainnya. Aku melihat mereka begitu dekat, Mut. Sekalipun Vanya selalu terlihat patah hati. Tapi hatinya memang bukan buat aku, salah aku mundur? Seharusnya aku memang tidak melewati garis persahabatan itu bukan?"
"Aku paham."
"Aku mau semuanya normal. Kalau kenyataannya pahit ini resiko."
"Tapi kamu memang serius sayang sama Diaz?"
Ruben diam.
"Kalau Vanya masih kuat, kamu jangan gegabah. Kasihan Diaz."
Ruben tersenyum. "Makasi banyak Mut."
Mutia menyenggol Ruben dengan lengannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.