Kami sedang duduk manis di depan koridor kelasku, menikmati pertunjukkan adik-adik kelas, seperti yang kami lakukan dulu untuk anak kelas tiga, Tribute for Third Graduation. Tidak ada yang memikat perhatian karena memang angkatan kami tidak ada bastards. Tetapi kalau datar-datar seperti ini juga tidak ada yang dikenang. Aku sekilas ingat cerita Roland kemarin di mobil, mereka merasa kelas tiga mereka menyenangkan. Kalau dibandingkan denganku, tahun penutup ini tidak begitu menggairahkan.
"Kita ada di panggung itu dua tahun lalu. Ini terlalu singkat." Gumam Mutia.
"Bagaimana kita menutup akhir tahun ini? Romantis, sedih atau menakjubkan?" Alfa menimpal. "Sepanjang sekolah, angkatan Roland adalah pertunjukkan terbaik." Alfa menimpal. "Aku bahkan belum bertemu Omega dengan setangkai mawar merah."
Kami tertawa.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" Ruben berbisik ditelingaku.
Suara beratnya membuat aku merinding. Mungkin aku tidak akan mendengar ini lagi setelah lulus. Aku tidak tahu apakah Ruben melakukan hal yang sama setelah lulus.
"Perpisahan bukan hal yang menyenangkan."
"Kau yakin tidak bersamaku setelah lulus?"
Aku meringis pelan. Pertanyaan ini memenuhi hatiku dengan sebuah kegalauan. "Kenapa harus ada sebuah pilihan, Ruben? Aku benar-benar tidak tahu."
Ruben mengusap rambutku berkali-kali. Dia sangat-sangat tenang. Aku bingung kenapa dia sangat piawai menguasai emosinya.
"Kalian yakin akan disini lebih lama lagi?" Tanya Mutia. "Kita ke kantin saja yuk!"
"Menurutku kelas tiga angkatan Roland, angkatan yang paling mengesankan dengan penampilan Tribute for Third Graduation. Bahkan angkatan kita tidak seberkesan mereka. Aku berharap ada sesuatu yang manis menutup masa-masa SMA kita supaya semua terkesan menakjubkan!" Johan bicara penuh semangat.
***
"Alfa."
"Masuk Vanya."
"Kau sedang main gitar ternyata."
"Aku bebas main gitar di sini."
Vanya tersenyum. "Semenjak kau di rumah ini Papi jadi enggak dingin samaku. Makasi ya Al. Kau ciptakan suasana rumah ini jadi lebih kekeluargaan."
"Bagaimana dengan ibumu?"
"Aku pikir aku akan menunggu sampai mereka siap memberitahuku."
Alfa mengangguk. "Kemarin pas kau pergi sama Roland aku bertemu dengan Mbak Arlin. Dia rindu samaku."
"Kau tidak pernah cerita soal Mba Arlin."
"Dia yang selalu menolongku. Tetapi aku tidak pernah peduli karena aku menganggap mereka sama saja semuanya."
"Lalu?"
"Ternyata Mbak Arlin sangat mengkhawatirkan aku. Aku tidak memberitahu dimana aku sekarang. Aku juga tidak menanyakan kabar apapun tentang mereka. Mbak Arlin juga tidak bahas mereka. Kami hanya bicara tentang kesibukan kami. Pikiranku baru saja terbuka, kalau di rumah itu ternyata masih ada satu orang baik."
"Pasti Al. Pasti."
"Tapi aku enggak bilang dia kalau aku mau ke Amerika. Aku akan menghubunginya setelah sampai di sana. Mungkin mengundangnya kalau dia tidak berubah. Tentu saja kalau aku punya duit sendiri."
"Ingat Al. Kau tidak boleh menyimpan dendam kesumat."
"Tidak."
"Bagus."
"Bagaimana dengan masalahmu?"
"Aku masih menjaga hubungan baik dengan menenggelamkan diri ditumpukan buku, alasan klasik belajar."
"Princess."
"Kalau kau jadi aku, siapa yang kau pilih?"
"Igo."
"Alasannya?"
"Ia sudah bermetamorfosis tetapi hatinya tetap padamu."
"Kalau Ruben?"
"Aku tahu dia mencintaimu. Tapi usia kalian masih sangat labil untuk sekarang."
"Lalu?"
"Kau tidak ingin nikah muda kan? Fokuslah belajar. Nanti di tempat yang jauh kau juga akan tahu kau jatuh cinta pada siapa sebenarnya."
"Kenapa kau yakin begitu?"
"Karena aku begitu setelah menolak Vally dan kami jauh sekarang."
"Kau masih mendambanya?"
"Yah."
"Beruntung sekali dia."
"Aku yang beruntung. Vally itu cantik, manis, lembut dan pemberani."
"Kau kan tidak pernah dekat dengannya?"
"Aku begitu mengenalnya sejak pertemuan pertama."
"Waaooo!!"
"Dan aku menolaknya."
Vanya tertawa. "Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama sepertimu."
"Jadi?"
"Aku akan pastikan dulu hatiku."
"Jangan cengeng lagi."
"Kau ledekin aku cengeng?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.