Aku menjauhi Ruben demi apapun.

1.3K 57 0
                                    

Sore ini Vanya, Mutia, Bayu, Johan, Anggun dan Alfa main ke rumah Johan. Johan tujuh belas tahun. Makan-makan. Ruben tidak ikut. Dia sibuk dengan OSIS dan pacarnya. Sepertinya Ruben mengerti kalau Vanya sudah tahu. Jujur, hubungan mereka sangat renggang sekarang.

Aku menjauhi Ruben demi apapun. Masih sangat sakit. Aku lebih baik menghindar kalau mau berpapasan dengan Ruben bahkan aku memilih jalan yang tidak melewati ruang OSIS dan kelas Ruben. Aku tahu semua siswa menatapku kasihan. Aku tahu kalau aku subjek iba mereka semester ini. Kami dulu terlalu dekat untuk menghadapi perpisahan seperti ini. Ingatkan? Kalau ada yang berubah dari Ruben, aku akan menjauhinya! Pastinya Ruben ingat itu!

"Al."

"Duduk sini Va. Kamu makan apa?"

"Aku minum jus."

"Makanannya banyak kamu cuma minum jus?"

"Enggak nafsu Al."

Alfa meletakkan piringnya. "Dengerin aku. Semua orang merasakan hal yang sama Va, hanya cara mengatasinya berbeda-beda. Kamu dikaruniai banyak kelebihan dan kamu kuat, kalau kamu membiarkan diri kamu terus dikubangan patah hati kamu akan semakin tenggelam. Mau terus-terusan begitu?"

Vanya menggeleng. "Apa kamu sudah bisa menghilangkan Vally?"

"Ruben, dia sahabat kan Va?"

"Iya." Alfa benar Ruben hanya sahabat. "Tapi aku kehilangan banget."

"Kamu hanya kehilangan kebiasaan."

"Hati aku sakit Al."

"Lalu dimana posisi Igo saat ini?"

Vanya menelan ludahnya. Igo?

"Berputarnya waktu kamu akan dewasa menghadapi patah hati kamu, kalau kamu mau." Alfa menatap Vanya yang menatap kosong gelas jusnya. "Kamu makan nanti sakit lagi. Aku ambilin nasi yah." Alfa masih mengamati wajah sendu Vanya. "Ayo dong semangat, kan sahabat kamu enggak cuma Ruben."

"Maafin aku Al."

"Paham. Yuk makan."

***

Aku tahu Ruben menatapku dari jauh setiap kami mau berpapasan dan aku memilih menghindar. Aku tahu dia sadar kalau aku tidak ingin menatapnya kalau kami terpaksa bertemu ketika mengobrol dengan yang lainnya sepulang sekolah. Aku tahu kalau Ruben sebenarnya ingin mengajakku berbasa-basi atau apapun. Kami sama-sama sadar kalau kami jadi dingin. Dan sepertinya Ruben tahu aku terluka. Yah dia sangat bisa membacaku. Selalu begitu bukan? Bahkan tanpa aku mengungkapkan apapun dia paham bagaimana harus membantuku bangkit. Dan sekarang ketika aku jatuh karenanya, dia pasti sangat memahamiku, apalagi mata sayu ini tidak bisa bohong. Bobotku yang turun lima kilo juga membuatku lebih tirus. Ruben pasti melihat semuanya. Aku seperti ditelanjangi kalau bertemu dengan dia, untuk itulah aku menghindar. Aku sama sekali tidak berharap kembali seperti dulu. Tidak!

"Vanya." Suara itu suara Ruben.

Johan, Mutia, Alfa, Bayu, Anggun dan Vanya sedang duduk di depan kelas Alfa di bawah pohon. Menunggu Ruben. Mereka janjian mau ke rumah Mutia.

Vanya menoleh malas. Ekspresinya semakin malas dan kesal ketika Ruben mengajak Diaz, yang lain menatap Ruben dengan serangan tidak suka. Siswa kelas dua yang ada disekitar mereka juga seakan ingin tahu respon Vanya.

Aku rasanya ingin lari dan teriak.

"Diaz ini Vanya, sahabat aku. Va, kenalin Diaz, pacar aku."

Sahabat yah hanya sahabat. Dia pacarmu! "Vanya."

"Diaz." Oooww suara manja yang cheerfull ini selera Ruben? I see.

"Jadi ke rumah Mutia? Kali ini aku bisa ikut, Diaz ikut juga."

Mendadak aku mau mati! Ini seperti kiamat.

"Yah Ben, aku harus jelasin dua kali jadinya. Enggak ada orang di rumah, dikunci. Maaf ya lain kali deh." Mutia menjelaskan. Padahal tadi tidak ada penjelasan itu, mereka memang sudah siap berangkat. Hanya menunggu Ruben!

"Yaudah enggak ada apa-apa lagi kan? Kita pulang aja yuk." Anggun langsung menarik Vanya dengan tatapan protes pada Ruben. Semua beranjak satu persatu.

Dan sejak itu persahabatan Tujuh Sahabat benar-benar kendor. Mutia dan Anggun tidak mau jalan kalau Ruben mengajak Diaz, sementara Diaz nempel terus sama Ruben. Mereka jadi jarang berkumpul lengkap. Ruben sudah tidak kempo lagi, alasannya terlalu banyak kegiatan dia butuh istirahat. Diplomatis bukan?!

"Kalian kalau mau jalan, aku sekali-sekali enggak ikut enggak apa-apa kok."

"Kalau ada Diaz aku males Va. Gayanya kecentilan banget, manja enggak jelas."

"Yahh.. aku jadi inget si supir angkot. Dia ternyata bener yah." Vanya merutuk. "Segala sesuatu ada masanya."

Vanya kembali merenung.

Persahabatan ini abadi bukan kekasih, hanya sampai dipersahabatan. Lagi aku kan punya Igo, sekalipun hubungan ini tanda tanya. Hei Vanya! Ingat Igo. Dia pasti sedang memperjuangkanmu untuk hari yang indah hubungan kalian. Aku harus move on dan raise up. Bersyukur aku punya aku punya Mutia, Anggun, Alfa, Johan dan Bayu.

Musim ulangan ketiga selesai.

***

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang