Aku sudah berdiri di depan kelas Vanya ketika istirahat pertama. Hubungan kami kembali seperti dulu, bedanya aku sekarang harus jemput Vanya ke kelasnya. Tetapi ini membuatku senang. Dan semua ikut senang.
"Kalau kau selalu berdiri di sini, guru akan memindahkanmu sekelas denganku."
"Jangan lebay, Vanya!"
"Apa kau masih bergetar kalau bertemu Diaz?"
"Bicara apa kau?! Kau masih anak kecil untuk terus membahas pacar-pacaran. Tujuh belas tahun dulu baru boleh pacaran." Kali ini Vanya tidak pernah protes kalau aku acak rambutnya. Padahal dulu dia cerewet takut rambutnya berantakan.
"Apa kalian tidak bisa menjaga tingkah laku kalian di sekolah? Dan kau Vanya, berhenti menjadi sok Princess setelah kau merebut pacar orang! Kau tidak lebih dari perempuan tidak punya malu!"
Vanya ingin sekali menampar anak itu kalau tidak kutahan. "Aku bersamamu Vanya. Dia hanya ingin melampiaskan marahnya karena ia benar-benar gila tanpaku." Aku menggenggam jemarinya tenang. "Kita pergi dari sini." Kami meninggalkan Diaz tanpa benar-benar peduli padanya.
Kami sudah duduk di kantin sekarang.
"Apa kau merasa bersalah dengan psikologi dia setelah kau putuskan?"
"Tidak sama sekali. Aku justru mengkhawatirkanmu." Jawabku tenang sambil menikmati segelas es sirsak. "Dengar Vanya. Apapun cara dia mengambil perhatianku lagi aku tidak peduli, tetapi aku akan peduli kalau ia melukaimu. Jangan lagi kau menghubung-hubungkan aku dengan Diaz. Kau paham?"
Vanya mengangguk. "Maafkan aku." Ada getir ketika Vanya mengatakan maaf.
"Habiskan esmu. Kita ke kelas sekarang."
Vanya jadi diam, entahlah mungkin dia meresapi kalimatku tadi. Kejutannya, dia sudah berdiri di depan kelasku pas istirahat kedua. Padahal aku baru saja ingin menjemput.
"Kau benar-benar kelaparan? Pelajaran apa tadi? Geografi?"
"Tidak. Aku lagi pingin aja jemput kamu. Boleh kan?"
Yang lain sudah di kantin. Kami menikmati makan siang kami. Sekilas aku mengingat momen kami kelas satu yang tidak pernah nyaman makan di kantin karena Roland and the bastards. Aku langsung ingat Igo.
"Ada apa? Kau mengingat semua yang sudah terjadi di sini?"
"Aku terlihat transparan dipikiranmu. Kalau begitu kenapa kau tidak curi jawaban-jawabanku saja ujian nanti tanpa harus belajar keras mengejar nilaimu."
"Kau begitu mudah ditebak." Aku hanya tersenyum.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.