Chapter 2 -- Pertarungan

2.6K 94 0
                                    

Lima sahabat belajar gila-gilaan untuk ujian ini. Terlebih Vanya dan Alfa. Vanya mempertaruhkan harga diri di depan Papi, ujian inilah yang menentukan penilaian Papi tentang keputusan Vanya masuk sekolah SMA Negeri. Sementara Alfa berusaha sekeras otak supaya Bapak dan Ibunya percaya kalau dia mampu menentukan hidup sendiri. Sejujurnya mereka tegang menghadapi ujian.

Vanya semakin tegang ketika masuk kelas ada Kak Illas. Vanya memang sudah lama tidak melihat dia. Mungkin dia fokus belajar di kelas karena kelas tiga atau karena Vanya terlalu sibuk bermain dengan sahabat-sahabatnya? Entahlah.

Vanya mulai membaca soal dan merumuskan di kertas coret-coretan. Ia benar-benar seperti di dunia sendiri. Satu jam kemudian, ia selesai menjawab hampir semua soal kemudian mengarsir jawaban. Leher mulai pegal. Masih ada beberapa soal yang belum terpecahkan. Dan ketika tegak, ia tersenyum. Memang yah enggak di sekolah manapun, mencontek adalah budaya yang buruk. Vanya mengamati sekeliling. Yudit? Oo My God ternyata dia menyontek juga. Huh!! Aku kembali saja fokus kalau begitu, daripada dia minta jawabanku.

Sama halnya dengan Alfa. Ia mengandalkan kemampuan sendiri sekalipun godaan contekan jelas menghantui. Ia tidak mau terjebak kebodohan dan membiarkan nilainya merah karena tipuan jawaban. Kalaupun dia harus mematahkan argument Bapak dan Ibu, ia harus benar-benar pintar. Supaya dia bebas menentukan pilihannya yaitu ingin menjadi pengacara.

Demikian hari-hari ujian. Sampai akhirnya di hari terakhir.

Vanya menyerahkan kertas jawaban dan meremehkan Yudit yang sedang grasak-grusuk. Yudit langsung pura-pura kalem padahal berkali-kali dia bertransaksi dan tertangkap Vanya. Looser! Vanya langsung mengambil tas dan keluar.

"Anggun, Alfa!"

Anggun dan Alfa langsung menoleh dan menghampiri.

"Mutia, Ruben dan Johan belum selesai?"

"Belum lihat, kita tunggu saja di sini."

Setelah bel berbunyi akhirnya Ruben, Mutia, Johan dan Bayu keluar kelas. Tujuh sahabat langsung melangkah menuju kantin. Ini adalah ujian terakhir sehingga mereka bisa main lagi melepas penat.

"Es sirsak tujuh Pak." Pesan Alfa.

"Aku es teh manis aja Al." Ralat Anggun.

"Ganti sirsak enam, es teh manis satu."

Yang dibahas tak lain Yudit dan Dinda yang jago menyontek, dilanjutkan dengan ancar-ancar siapa sang juara kelas, sementara ini mereka berpikir Ruben adalah juara kelas disusul Alfa dan Vanya. Tetapi tidak tahu bagaimana siswa lain karena ketiganya yang mencolok di kelas. Alfa sendiri tidak yakin kalau nilainya lebih unggul dari Vanya yang diam-diam pintar juga. Vanya sendiri tidak yakin karena Ruben terlalu kuat untuk disaingi dan Alfa yang selalu terlihat bercanda ternyata sangat jago menghafal.

Bayu langsung menoleh ketika bahunya dicengkram kasar. Mereka tahu itu pasti Roland and the bastards yang tidak pernah lelah membuli. Mereka berdiri.

"Apa lagi Roland and the bastards?" Tantang Anggun.

Muka bengis Roland sudah tercetak jelas diotak. Ia dan gengnya semakin liar. Entah apa yang ada diotak mereka padahal ini tahun terakhir di SMA.

Roland and the bastards?" Tanggapnya sinis. "Katanya kalian ikut Kempo sekarang? Pantas! Kalau kalian merasa hebat, kita bertarung di lapangan sekolah. Sekarang! Ini akan jadi hiburan setelah ujian." Roland balik badan.

Tegang.

Vanya melihat Igo mengangkat gelas ingin menuangkan ke Johan. Secepat kilat Vanya merebut gelas kemudian mematahkan tangan kanan Igo. Igo teriak mengundang perhatian seisi kantin. Pandu langsung menarik Igo dan mengancam dengan jari tengah. Igo masih sempat menatap Vanya, mereka beradu tatap.

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang