"Terimalah."
Aku membuka kotak pemberian Ruben. "Pin berbentuk wajahmu?"
Aku melihat senyum diwajahnya. Ia mengangguk. Ruben melangkah, seperti biasa ia mengantungi kedua tangannya ke kantung celana.
"Aku berterima kasih untuk kemarin di depan yang lain, Ruben."
"Kau melakukannya lebih dulu untukku Vanya."
"Yah. Kurasa kita partner yang baik."
Ruben tertawa kecil.
Aku tersenyum. Meletakkan lima jariku dibahunya. Aku duduk di sisinya. "Kau tahu? Aku bahkan tidak pernah merasa sehebat ini. Persahabatan, cinta, sakit, kecewa, rindu, kegilaan-kegilaan, semuanya melebur. Aku tahu kenapa putih abu-abu."
"Kenapa?"
"Karena kita yang awalnya putih. Di SMA kita belajar semuanya, belajar ilmu dan rasa. Ilmu IPA dan IPS. Rasa tentang kepolosan, kekaguman, cinta, patah hati, tangis, tertawa lepas, kecewa, cemburu, ikhlas, semua rasa itu melebur menjadi satu. Abu-abu. Tidak putih, tidak juga hitam. Tidak putih karena sudah banyak warna rasa di sana, tidak hitam karena tidak ada kebencian abadi, semua membentuk karakter."
"Kau benar. Aku tidak menyesal mengenalmu Vanya."
Aku merangkul Ruben. "Aku juga tidak menyesal menjadi sahabatmu."
Ini untuk pertama kalinya Ruben menyandarkan kepalanya dibahuku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
Lãng mạnVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.