Vanya Fernandez

3.5K 141 7
                                    

Pria dengan kemeja lengan panjang hitam selalu mempesona dengan rambut basah yang tertata tampan. Harumnya tercium maskulin. Sambil menunggu aku diam-diam melirik Alvaro yang serius bercumbu dengan dunia maya, mungkin memetik berita atau mengirim pesan dengan kolega bisnisnya sambil sesekali menganggukkan kepala memahami apa yang tertulis di sana. Setiap pagi.

"Aku sudah siap."

"Kita berangkat sekarang." Suara bass itu menyahut dengan sekali tatapan kemudian sepasang mata elangnya kembali menatap layar ponsel. "Tidak ada yang tinggal?" Akhirnya setelah dibalik setir dia bisa melepas ponselnya. Kemudian senyum.

"Papa kapan pulang?"

"Akhir minggu ini, setelah itu kita bertiga ke Bandung."

"Kakak kapan berangkat?"

"Tidak jadi."

"Alasannya?"

"Kamu." Dia langsung melajukan mobil ke arah sekolahku. Secepat kilat.

Di mobil kami hanya diam, membiarkan radio bercanda sendiri tanpa sahutan tawa geli dari kami. Alvaro beberapa kali mengusap rambutku dan menggenggam jemariku hangat. Ia mengajukan beberapa pertanyaan klasik yang aku jawab dengan anggukan dan kata tidak, sementara kiblat kepalaku tak bergeser sedikit pun dari jendela mobil.

"Ada anak namanya Yudit, dia mojokin aku kemarin di kelas. Karena seragam ini. Apa aku terlalu asing sekolah di sini?" Akhirnya aku bicara.

"Kamu langsung menyerah? Terus aku sia-sia dong belain kamu kemarin."

"Antar aku sampai masuk ke sekolah Kak."

"Harus berani."

"Jadi kak Alvaro enggak mau antar aku?"

"Kamu harus mandiri dan kuat Vanya. Kakak yakin kamu hanya butuh waktu untuk terbiasa. Tatap mereka balik dengan tatapan elang kemudian berikan senyum madumu diujungnya." Alvaro mengecup keningku hangat. "Sudah sampai."

Aku menarik nafas panjang. "Aku tidak menyangka akan mengalami ini."

"Kau saudara perempuanku satu-satunya, aku pasti menjagamu."

"Terima kasih Kak."

Aku melangkah gontai. Menoleh ke belakang, mobil Alvaro masih di sana. Aku langsung mengambil ponselku, menekan nomor yang sudah hafal diluar kepala.

"Kenapa masih di sana?"

"Aku ingin mengantarmu sampai kelas dengan mataku."

Aku tahu Alvaro sangat menyayangiku. Usia kami terpaut 13 tahun. Ia anak tunggal yang gagal. Seharusnya dia membenciku, tetapi justru sebaliknya ia malah menyayangiku, bahkan ia sangat melindungiku.

"Terima kasih Kak."

Namaku Vanya Fernandez, lebih tepatnya Vanya saja karena nama belakang itu nama Papiku dan tidak tertulis di Akta Kelahiran. Aku tidak tahu kenapa Papiku tidak menuliskan namanya seperti yang dia tulis untuk Alvaro. Alvaro menyandang nama Fernandez di setiap surat sah miliknya. Aku hanya satu nama, itupun titipan Ibuku. Papi menyanyangiku, hanya saja dia seperti menyembunyikan sesuatu. Aku yakin ini ada kaitannya dengan Ibu. Aku tidak kenal dengan sosok sebutan Ibu sampai aku sedewasa ini. Dan aku belum menemukan jawaban itu sampai sekarang.

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang