Chapter 3 -- Hmm!

2.2K 77 0
                                    

Ungkapan "sorry" yang angkuh ketika bersenggolan mencetak raut-raut wajah emosi. Semua siswa seperti tidak betah berada di sekolah lama-lama setelah mendengar bunyi bel yang berdentang tepat pukul 15.30 WIB. Rasanya tembok sekolah adalah sel yang memenjarakan otak dengan tumpukan buku yang suka atau tidak suka harus mereka lumat demi masa depan cemerlang.

Semua siswa punya agenda masing-masing termasuk Vanya, Ruben dan Alfa. Sore ini ketiganya tidak ingin melewatkan satu detik pertemuan dengan para guru dan siswa lain mempersiapkan lomba MIPA se-ASEAN yang diikuti sekolah setiap tahunnya. Dan sejak surat cinta itu mereka terima, ketiganya jadi lebih intens bersama dan membaur dengan peserta lain. Sayangnya, waktu bersama Anggun, Mutia, Bayu dan Johan jadi banyak berkurang. Untung saja mereka justru mendukung dengan bangga.

"Aku mau pipis dulu." Ruben dan Alfa hanya menggeleng melihat kelakuan Vanya yang semakin hari semakin manja karena selalu diapit dua cowo jagoan ini.

Pandangan Vanya terpusat pada titik cerah didepannya. Ia melihat Servagio Adam, kemudian menyisipkan senyum ketika mata mereka bertemu. "Igo."

"Vanya." Igo menarik Vanya, membawa ke belakang sekolah, tempat yang tidak mungkin didatangi murid dan guru.

"Bisa kau jelasin hubunganmu sama Illas?"

"Biasa saja. Dia kakak pembinaku waktu MOS, hanya itu."

Igo menatap Vanya ragu. Masih tersimpan kecurigaan dibalik matanya.

"Ruben, Alfa, Illas kemudian siapa lagi Vanya?"

Senyum tadi hilang dalam sekejap. "Menurutmu aku apa? Kau jahat! Aku pikir kau benar-benar pacarku!" Vanya bergegas pergi dan sengaja menabrak Igo. "Aku pikir kau mengajakku kesini untuk meminta penjelasan, ternyata salah." Vanya memutar badan. "Aku kecewa sama cinta pertamaku, Igo. Kau jahat!"

Igo menahan dengan satu genggaman kuat. "Aku memang tidak bisa melakukan apa-apa untukmu, tetapi bisa kah kau menjaga hatimu hanya untukku? Semua Adam di sekolah ini punya impian menjadikanmu miliknya. Apa aku salah?"

"Tunjukkan caranya." Vanya menantang Igo. Sorotan matanya tepat terpanah dibola mata kekasihnya. Genggaman Igo melemah kemudian dengan cepat Vanya menepis, kali ini ia benar-benar melangkah.

Aku kecewa sama Igo!

***

"Ruben!"

Ruben tidak jadi naik angkot yang sudah dihentikan. Ia menoleh ke asal suara yang memanggilnya. "Enggak jadi Bang. Maaf." Si supir emosi tingkat tinggi.

"Bisa bicara baik-baik?"

"Di sini enggak bisa?"

"Ikut Pandu." Roland memberi perintah.

"Di sini saja."

"Ini bukan tempatnya."

"Jangan sampai kecurigaan saya benar-benar terjadi."

"Saya yang punya kecurigaan sama kamu."

"Apa?"

"Vanya. Kamu pacaran sama dia?"

Ruben menahan nafasnya, oksigen ditubuhnya berkurang membuat otaknya tidak stabil memerintahkan darah untuk tidak menanjak. Nama Vanya membangunkan singa tidur didalam tubuh Ruben. Ruben sudah mencintai Vanya, ia tidak bisa menepis rasa marah ketika Roland menyebut Vanya dengan nada posesif penuh nafsu.

"Kau masih tergila-gila sama Vanya?"

"Kau cukup jawab iya atau tidak."

"Bukan urusanmu." Ruben langsung naik angkot yang kebetulan lewat, menghindari keributan yang hampir saja terjadi karena Ruben sudah melihat api dimata Roland, darahnya pun mulai mendidih.

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang