"Tolong bersikap wajar, Vanya."

1.2K 54 0
                                    

"Vanya."

"Ya Ruben."

"Kau punya waktu?" Ruben duduk menghadap sahabatnya.

Vanya melirik jam. "Lima menit lagi bel, aku ulangan di jam pertama. Ada apa?"

"Terima kasih. Kau menyelamatkanku."

Vanya tersenyum. "Kita sahabat Ruben."

"Aku akan lanjutkan di istirahat pertama. Kelasmu sudah penuh."

Vanya mengiyakan dengan senyum dan menatap dia pergi.

"Kalian baikan Vanya?" Beberapa teman sekelas menanyakan itu antusias.

"Apa keretakan hubungan kami sangat jelas terlihat?"

"Yah. Dan kau sangat terluka karena hubungan mereka."

Vanya senyum. "Tetapi kalian selalu membuatku tertawa, itu hiburan menarik."

Mereka semua tertawa.

Aku semakin paham penilaian orang lain tentang aku dan Ruben. Aku semakin yakin kalau kami memang jadi pusat perhatian belakangan ini. Aku sangat yakin kalau kami dulu begitu romantis pantas saja Igo begitu meledak. Aku sangat yakin kalau aku dan Ruben bukan sekedar sahabat.

"Vanya."

Ruben sudah masuk ke kelas saat istirahat pertama dan menyapa dengan ramah beberapa teman sekelas Vanya yang ia kenal. "Apa aku boleh bicara dengan Vanya, Muchwan?" Izinnya ketika Muchwan sedang membuat cerita lucu.

"Ruben." Muchwan menepuk punggung Ruben. "Kau hanya ingin bicara padanya bukan? Karena kalau membuatnya tertawa sekarang sudah giliranku." Vanya dan beberapa teman dekatnya di kelas tertawa mendengar Muchwan.

"Terima kasih Muchwan." Ruben menepuk Muchwan tenang dan bersahabat.

"Ada apa?" Tanya Vanya ketika mereka melangkah keluar kelas.

"Aku ingin bicara padamu di ruang OSIS."

"Kau takut pacarmu melihat?"

"Tidak ini sangat rahasia."

"Tidak Ruben, di sini saja."

"Kau takut?"

Vanya menatap Ruben. "Di sini saja." Tegasnya.

"Apa kita bisa meneruskan persahabatan kita?"

"Pasti."

Mereka terdiam dalam beberapa detik.

"Terima kasih."

"Ada apa Ruben?"

"Apa kau benar-benar ingin tahu?"

Vanya menatap Ruben mencari sesuatu yang hilang di sana setelah sekian bulan. "Aku bahkan tidak keberatan sama sekalli untuk tidak tahu." Ia melihat sesuatu yang berbeda dari cara Ruben menatapnya. "Kalau kau ingin bicara, bicaralah Ruben. Aku tidak punya hak untuk berbasa-basi denganmu dengan caramu seperti ini."

"Apa kau dijemput?"

"Tidak hari ini."

"Oh ya, kau sudah punya Alfa sekarang! Oke, Aku jemput kamu pulang sekolah."

Hati Vanya seperti gong yang sedang dipukul, menggema menyentak semua indera. "Kau yakin?" Pertanyaannya ini seakan menuduh atau meminta kepastian.

Ruben menatap pasti, kemudian pergi.

Ruben benar. Ia sudah berdiri di depan kelasku satu menit setelah bel berbunyi. Aku tidak percaya dia benar-benar di sana setelah hampir dua semester kami kelas dua. Aku lekas merapikan buku dan mengucapkan sampai ketemu besok.

"Sudah?"

Vanya mengangguk.

Kami melangkah secepat kilat di tengah kerumunan siswa-siswi yang keluar gerbang sekolah. Aku yakin pasti kepergian kami ini mengundang banyak spekulasi nanti. Dadaku bergemuruh. Aku tidak menyangka aku akan berdua saja dengan Vanya setelah selama ini hubungan kami amat sangat longgar. Aku bahkan tidak berani memegang tangannya ketika bis kami melesat kacau di jalan raya.

Aku mengatur irama jantungku yang kacau seperti bis ini. Kami diam sepanjang perjalanan. Aku mengalihkan wajahku ke kaca memandang sisi jalan yang kami lalui.

Mereka sekarang di taman, area di mana hanya ada mereka dan burung-burung.

"Kenapa kau mengajakku ke sini?"

"Kau suka?"

"Ada sesuatu yang penting Ruben?"

Ada jeda sebelum Ruben bicara. "Aku mau kau meyakinkan Anggun dan Mutia tentang hubunganku dan Diaz."

Ucapannya menyakitkan! "Sudah."

"Kau yakin? Aku tahu. Mutia dan Anggun selalu berbuat apapun demimu."

Vanya mengerutkan dahi. "Kenapa kau berpikir jahat sama sahabatmu sendiri?"

"Awalnya mereka biasa saja dengan hubungan kami, tetapi setelah kau ngambek dan menghilang mereka menjauhiku dan menatap benci pada Diaz. Aku tahu mereka begitu demi kau." Penjelasan Ruben dingin sekali. "Diaz kekasihku Vanya, seharusnya kalian menerimanya dan mendukung aku."

Vanya benar-benar terpojok. Hatinya hancur! "Aku akan meyakinkan mereka untuk melakukan apa yang kau mau."

"Diaz sudah berusaha sangat manis untuk berteman dengan kalian tetapi kau mengacaukan semuanya. Tolong bersikap wajar, Vanya. Aku saja tidak mengganggu hubunganmu dengan Igo."

Jep!! Jep!!! Vanya langsung menoleh. Matanya nanar menatap Ruben. "Apa? Igo?" Bahkan aku tidak tahu apakah hubungan kami masih ada, bahkan aku tidak tahu apakah Igo masih menganggapku kekasihnya, aku bahkan tidak tahu kalau aku harus menunggunya atau tidak, aku bahkan tidak tahu luka yang kurasa karena Ruben masih pantas atau tidak untuk Igo. Aku bahkan tidak tahu!!

Vanya menarik nafas berat. "Terima kasih Ruben. Aku akan meyakinkan semuanya untuk menerima Diaz dan hubungan kalian." Vanya menatap benci pada Ruben. Lalu pergi.

"Vanya!" Ruben menahan Vanya dengan satu genggaman kuat. "Kenapa kau? Kenapa kau Vanya? Bilang samaku apa yang terjadi denganmu?"

Vanya menggeleng. Ia sudah tidak mampu menahan air matanya yang tumpah. Hatiku semakin terluka! Aku tidak tahu hari apa ini?! Semakin aku ikhlas semakin ia melukaiku. Vanya menghapus air mata, menyetop taksi kemudian pulang.

"Vanya!!" Ruben hanya teriak sementara taksi melaju.

Vanya menangis tersedu-sedu. Kenapa Ruben? Kenapa justru kau yang menyakitiku sekarang? Air matanya terus mengalir.

"Anggun, Mutia, Alfa, Johan dan Bayu?" Gumam Vanya ketika taksinya berhenti di depan rumah. Ia langsung menghapus air matanya.

"Vanya, tadi kata teman-teman kelasmu kau pergi bersama Ruben."

"Iya Al." Vanya berusaha tersenyum.

"Apa arti senyumanmu Va?"

"Apa menurut kamu, Al?"

"Apa yang Ruben bilang?"

"Dia minta tolong padaku untuk membujuk kalian menerima Diaz dan menerima hubungan mereka, khususnya Mutia dan Anggun."

"Ada apa sih sama Ruben? Kepalanya sudah diracuni sama perempuan itu!!" Alfa terdengar kesal. "Apa lagi yang dia bilang Va?" Alfa mencecar.

"Sudahlah, kita sahabat, terima saja." Vanya membujuk." Lagi apa salahnya bikin temen seneng. "Come on! Ingat kata si supir? Jangan kalah sama dia."

"Kau yakin Vanya?" Alfa mengangkat wajah adik angkatnya itu dengan kedua tangannya. Ia menatap kedua bola mata Vanya mencari kesungguhan didalamnya.

Vanya mengangguk yakin dengan keputusannya hari ini.
***

Potret PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang