Dengan sabar Vanya menunggu Alfa di depan kelas Alfa. Ia berkali-kali melihat ke arah gerbang, matanya awas mengamati setiap murid yang hilir mudik di lapangan sekolah. Namun Alfa tak kunjung datang. Sampai bel tanda masuk sekolah bunyi tiga kali Alfa tidak juga datang. Buru-buru Vanya kembali ke kelas, pagi ini pelajaran Akuntansi dan gurunya masih guru yang sama seperti kelas satu.
Jauh di seberang sana. Di balik jendela, Ruben diam-diam memperhatikan Vanya yang resah menunggu Alfa. Masih ada rasa cemburu melihat Alfa dan Vanya. Sekalipun ia tahu Alfa adalah orang yang tepat untuk menjaga Vanya. Mungkin menjaga Vanya untuk hatinya sendiri.
Hans menghampiri Ruben dan ikut melihat apa yang dilihat teman semejanya itu. Ia hanya menggeleng, "Masih mengkhawatirkan dia?"
Ruben kaget. Ia mengatur nafasnya. "Aku tidak bisa bohong."
"Kalau aku boleh jujur bertanya, apa yang ada dipikiranmu sekarang?"
"Aku sendiri enggak tahu."
"Dilema?"
"Terjebak."
"Awalnya kau pikir strawberi itu buah yang manis?"
Ruben duduk. Ia tidak menanggapi Hans.
"Aku yakin kau bisa menyelesaikan ini Ruben. Yang tersangkut itu hanya kakimu bukan tubuhmu yang disandera. Semua orang sedang membicarakanmu. Aku pikir kau harus menata ulang masa-masa SMAmu. Selamatkan nilai-nilaimu. Juga hati kecilmu." Hans menonjok kecil lengan Ruben.
Bisa kurasakan senyapnya hidupku tanpa Vanya. Kehilangan sahabat, kehilangan nilai, kehilangan kepercayaan dan kehilangan kebahagiaan masa-masa SMA. Aku sudah terlalu jauh berlari. Ini salah. Ini salah. Aku tidak boleh melanjutkan hubungan yang tidak sehat ini.
"Mau ke mana kau? Sudah bel." Kening Hans berkerut ketika Ruben tiba-tiba meninggalkan kursi. Hans hanya menggeleng dan melihat dari jendela apa yang akan Ruben lakukan.
"Vanya!" Lengan Vanya yang menggantung bebas disambar genggaman hangat yang sudah lama absen menggenggamnya.
Vanya bersikap biasa sebagaimana mestinya. Ia harus terima sarapan pagi untuk jiwanya yang harus terima kenyataan makan hati setiap kali berhubungan dengan Ruben sejak tragedi status Ruben.
"Pagi Ruben. Sudah bel."
"Aku dengar."
"Terus?" Tatapan cemas yang Ruben suguhkan pagi itu tak mampu membuat jiwa Vanya kenyang. Vanya mampu menguasai dirinya pagi ini untuk tidak terlihat lemah. "Tenang Ruben. Aku baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Kita sahabat bukan? Kau tidak perlu bersikap seperti punya hutang samaku."
Petir menyambar. Luka tertoreh. Semangat redup. Hening.
"Aku hanya sahabatmu. Aku terima ini semua. Jangan pikirkan aku." Mata Vanya membuta melihat ekspresi Ruben yang tiba-tiba mematung. Ia meneruskan langkahnya.
Namun ada gelanyar-gelanyar aneh yang mengalir dihati mereka. Gelanyar itu terasa panas membakar hati. Dari ekor matanya, Vanya tahu kalau Ruben masih di sana mengamatinya dengan tubuh yang masih mematung.
"Masuk Ruben, gurunya sudah dekat." Hans menarik Ruben.
Sekian detik senyap sampai Ruben duduk di bangkunya. "Pelajaran apa?"
Hans menoleh. "Cinta itu benar-benar buta. Biologi."
"Dia sudah tidak menganggapku."
"Kau punya pacar."
"Tetapi aku bisa melihat luka dimatanya."
"Tentu saja. Satu sekolah ini juga bisa melihat."
Ruben menoleh. "Apa yang ada dipikiran kalian tentang kami?"
Kehing Hans mengerut. "Kami pikir kalian pacaran ternyata kau membuat sensasi dengan pacaran sama anak kelas satu. Dan aku harus memberitahumu, tim kita tidak nyaman dengan jadwal latihanmu yang sering bolong dan telat sejak kau dan anak kelas satu itu pacaran. Itu alasannya kau tidak jadi Kapten sepak bola kita."
Ruben mengangguk. "OSIS juga sudah menegurku untuk memperbaiki citra."
"Kau begitu diandalkan tetapi kau tidak menunjukkan kalau kau layak hanya karena pacar yang belum tentu jadi istri. Dengar Ruben, aku tidak tahu sudut pandangmu tentang berpacaran. Tetapi kalau statusmu atau kekasihmu hanya jadi parasit kau sendiri yang akan layu. Kau paham?"
Walau perkataan Hans seperti hakim yang mendakwa terdakwa, Ruben mengangguk kalau belakangan ini kualitasnya mulai menurun. Ia sibuk dengan Diaz, sibuk tidak jelas mengantar Diaz pulang dan les dengan sejuta keluhan atau aduan yang tidak penting, obrolan kosong yang tidak mengembangkan otak. Sementara ia harus berkali-kali pamit atau sekalian bolos dari OSIS dan sepak bola, bahkan ia sudah meninggalkan Kempo.
"Maaf membuatmu tersinggung."
"Kau benar."
"Aku hanya bicara jujur supaya kau sadar. Aku tidak menyuruhmu meninggalkan kekasihmu. Mungkin kau bisa mengatur ulang waktu pacaranmu. Pacaran secara dewasa, ini SMA Ben, kita bukan ABG lagi."
Ruben langsung membuka bukunya, padahal sejak tadi guru Biologinya sudah cuap-cuap menerangkan sel-sel manusia. Ia hanya mendengar sepasang kata sel tanpa mencermatinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.