Jantung Vanya mendadak berhenti, tangannya dingin dan gemetar. Ia benar-benar menata hati.Tujuh Sahabat asyik bermain karambol. Semua kumpul di kamar Ruben. Tidak ada Diaz. Dan yang lebih pasti, tidak ada naik ke atap, tidak ada masak bareng, tidak ada obrolan hangat berdua. Semua hilang!
Aku memandang seisi rumah ini. Rumah yang dulu memberi kehangatan tetapi kini kebekuan. Aku samar-samar mendengar suara Ruben ditelingaku yang dulu kerap merangkulku hangat. Hanya samar karena itu sudah lama sekali. Di luar hujan. Dulu kami menyukai ini karena bisa menulis apapun di kaca yang berembun. Kenangan bersama hujan? Ahh, omong kosong! Kami memang masih duduk bersama dalam tawa tetapi aku yakin hatiku yang luka ini tampak begitu merah. Aku sama sekali tidak bisa menutupi ini. Setegar apapun aku! Ruben pasti sudah sangat yakin kalau aku benar-benar terluka.
Pandangan Vanya teralih pada sebuah frame di meja belajar. Foto Tujuh Sahabat waktu kelas satu. Ia mengamati foto itu dari posisinya sekarang, tidak berani beranjak. Kenangan kelas satu kembali menguak. Dan hari ini mereka melakukan hal yang sama tetapi tidak dengan hati yang sama.
Aku menarik nafas panjang mengisi paru-paruku dengan oksigen. Persahabatan ini akan kembali seperti dulu kalau aku ikhlas.
"Bagaimana ulangan-ulanganmu?" Suara Ruben mengagetkan.
Vanya berusaha tersenyum. "Bisa."
Keduanya duduk bersisian. Tanpa suara. Memandang keluar mengamati hujan. Hujan terjun dengan bebasnya dari langit hanya untuk terantuk ke tanah dan mencair dari butiran jernih menjadi aliran air. Sama dengan cinta. Cinta jatuh ke hati dari tempatnya yang paling mulia dan meleleh menjadi sebuah cinta sejati atau pesakitan.
Kami duduk bersisian. Tanpa suara. Tanpa rengkuhan. Tanpa tatapan. "Teh?"
"Cukup." Vanya masih saja memandangi hujan yang semakin lebat.
Aku menikmati kekakuan kami. Kebisuan kami. Kedinginan yang sama-sama kami ciptakan untuk membentengi hati. Aku menikmati setiap oksigen yang mengalir ke paru-paru, setiap darah yang mengalir deras karena jantung sedang memompa kencang sekali! Aku menikmati helaan nafas beratnya yang merasa bersalah. Aku menikmati gerakan tubuhnya yang rindu memelukku namun enggan. Aku menikmati keraguannya untuk memulai kata yang tak kunjung terucap. Aku menikmati detik-detik kegugupan ini. Aku menikmati kebersamaan yang nihil.
"Apa yang ada dipikiranmu sekarang?"
Pertanyaan itu meninju hatiku menciptakan dentuman keras sampai ke mata.
"Tidak ada."
Kami diam lagi. Ada rasa yang muncul yang tidak pernah ada kemarin. Enggan.
Ruben menyandarkan tubuh ke tembok. Padahal tembok dingin sekali, mungkin ia ingin mendinginkan darahnya yang mendidih atau membekukan otaknya untuk tidak memaksa lidahnya mengajukan pertanyaan pada sahabatnya itu. Vanya sendiri hanya bermain-main dengan otaknya dikekakuan ini. Tidak tahu mau melakukan apa.
"Mau ikut aku?"
Atap. Pasti dia mau mengajakku ke sana. Tidak aku tidak mau menggali lebih dalam lukaku. Aku tidak mau memanfaatkan kesempatan kecil ini hanya untuk harapan palsu atau membuatnya merasa bersalah atau bahkan merusak hubungannya. Seharusnya memang aku yang sadar diri kalau kami hanya sahabat. Bukan kekasih. Seharusnya aku tidak mengasihani diriku dengan membiarkan diriku terlihat patah hati didepan semua orang. Seharusnya aku merestui mereka dengan begitu terciptalah persahabatan yang sejati dan damai. Bukan situasi ini.
Vanya menggeleng.
"Kau benar-benar menjauhiku?" Aku ingat percakapan kami dulu.
"Maaf kalau sikapku mengganggumu."
"Aku yang minta maaf." Bantah Ruben tenang. "Aku tidak tahu kalau jadinya seperti ini Vanya." Ia bahkan tak sedikitpun bergerak.
Ia sudah memulai. "Tidak perlu dibahas, Ruben. Aku menikmati semuanya."
Vanya.. Aku tak sanggup bicara lagi. "Bagaimana ulangan Geografimu?"
"Bisa."
"Bisa?"
"Bisa."
Ia menarik nafas berat kemudian menghembuskannya berat lagi. "Aku harap kau akan sebisa itu menghadapi situasi ini." Aku mengelus kepalanya sebagai tanda maaf, tanda rindu, aku tak mampu melihatnya sakit. Getir!
Ruben pun bergabung dengan yang lain.
Akhirnya air mata yang dari tadi kutahan tumpah. Aku menunduk. Air mata ini benar-benar tumpah ketika Ruben mengelus kepalaku. Sudah lama sekali!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.