"Kalian tahu dari mana alamat rumahku?""Tata usaha. Jangan kau pikir kami tidak akan pernah kemari."
"Kalian jangan menjauhiku kalau nanti Bapakku memaki kalian."
"Ada apa? Berantam lagi?"
Alfa menatap Bayu yang sejak datang memang hanya dia yang bicara. "Iya. Apa kalian masih lihat memar di bibirku?"
"Jadi kau dipukul Al? Ini kelewatan! Harus dilapor ke Komnasham." Seru Mutia. Bayu langsung menutup mulut Mutia takut terdengar keluarga yang lain.
"Ini kesekian kalinya. Aku baik-baik saja."
"Kesekian kalinya? Masalah apa?"
Alfa menggeleng. "Masalah biasa."
"Kenapa bisa semarah itu?"
"Entahlah."
"Kau tidak mau cerita?"
"Aku malas membahas itu sekarang. Nantilah."
"Kau makan dulu." Mutia langsung membuka nasi kotak yang sengaja mereka bawa. "Vanya enggak bisa ikut, dia mungkin belum tahu kau sakit Al. Dia tadi dijemput Alvaro. Tadi aku mau kasihtau mau besuk kamu tetapi tidak sempat."
Alfa mengangguk. Hatinya sedih. Karena persahabatan mereka benar-benar terpecah sekarang. Bahkan mereka tidak tahu kalau Vanya memang sudah tahu. Tragis. "Kau ada masalah Ben?"
Semua mata tertuju pada Ruben.
"Nilai-nilaiku merosot. Aku pikir ini karena aku terlalu berlebihan."
Semua membisu. Bahkan bunyi detik jam sampai terdengar.
"Mungkin kau bisa menceritakannya pada kami."
"Aku menyesal."
Sirat mata terlihat jelas menunggu Ruben memperpanjang kalimatnya.
"Aku jauh dari kalian, aku menerima protes dari OSIS dan tim sepak bola. Ini soal prioritas waktu. Hubungan aku dan Diaz mengecewakan semuanya. Maafkan aku."
Tidak ada tanggapan. Semua kaku. Ini seperti sebuah pengakuan yang melegakan namun mengunci semua indra.
***
"Bagus! Kau sudah mengadu sama teman-temanmu yang suka membuat onar di sekolah? Apa kau tidak bisa cari teman yang lebih baik Alfa?! Kau mau bikin kasus terus?! Apa yang kau banggakan dari mereka sampai kau ijinkan mereka masuk ke rumah saya? Kau bikin rumah saya jadi rumah sembarangan!"
Amarah Alfa mulai terpancing. Setelah Willy, sekarang Enam Sahabatnya yang diprotes Bapak. "Mereka menjenguk karena aku tidak sekolah. Mereka anak baik-baik bukan pembuat onar." Tandas Alfa.
"Bela terus!!"
"Tidak pernah satu orang pun yang baik dimata Bapak. Aku sudah paham."
"Jawab!!" Bapak sudah melayangkan tangannya.
"Pukul lagi! Pukul!!"
Pukulan pun mendarat keras.
"Saya bukan anak kandung kalian kan? Katakan kalau saya anak pungut, anak adopsi atau kalau pun saya anak kalian saya berharap saya tertukar. Saya benci ada dikeluarga ini. Kalian sudah merusak masa muda saya!"
Hujaman pun mendarat tepat diperut Alfa sampai ia mundur dan terjatuh.
"Durhaka kau! Saya yang mengandung dan melahirkanmu, kau ingkari saya!" Ibu melotot dengan lengkingan suara yang melonjakkan amarah.
Alfa bangkit berdiri namun ia terjatuh lagi tanpa persiapan diserang pukulan bertubi-tubi dari Ibu yang sambil mengoceh. Diujungnya tangisan Ibu itu pun pecah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potret Persahabatan
RomanceVanya. Mutia. Anggun. Bayu. Ruben. Alfa. Johan. Potret persahabatan dengan sejuta cerita yang terekam dalam seribu bingkai ekspresi.