37. Onta Akan Pergi?

521 90 16
                                    

"Aku tidak ingin mengambil risiko menyentuh permata, tetapi akan berakhir kehilangan berlian."

-Andrew Gema Reinner

-🥀-

Minggu ini Andrew ada di depan rumah Claire, ia akan mengajak gadis itu ke bengkel. Seorang gadis dengan celana levis setengah paha dan atasan baju panjang berwarna navy datang sembari mengembangkan senyumnya.

"Ngapain lo senyum-senyum kayak orang gila gitu?" tanya Andrew.

Claire melunturkan senyumnya dengan kesal. "Terserah guelah!"

"Sana ganti celana dulu," suruh Andrew.

Claire melotot tak percaya. "Gue udah dandan cakep-cakep gini biar lo nggak malu sama temen-temen lo, udah mikir outfit matang-matang kayak mikir lanjut jurusan pendidikan dan lo malah nyuruh gue ganti?"

"Lo mau jadi tontonan? Liat celana lo, di sana cowok semua, Bonsai!" tegas Andrew.

Claire mengembuskan napas kesal, ia terpaksa berbalik badan, berjalan masuk kembali ke dalam rumah. Tak lama kemudian gadis itu kembali dengan celana panjang berwarna cream.

"Nah, gini dong. Kalau bisa gue lebih suka lo pake jilbab. Abis itu kita nggak usah pacaran, gue langsung bawa orang tua gue ke sini dan nikahin lo, terus hidup bahagia, tamat," cerita Andrew.

Claire menerima helm yang Andrew berikan. "Gue belum siap pakai jilbab."

Andrew menoleh menatap Claire. "Jilbab bukan tentang siap atau nggak siap, itu suatu kewajiban. Perlu digarisbawahi itu kewajiban, bukan sunah ataupun pilihan."

Andrew juga sudah memperingatkan itu pada mamahnya, dan wanita itupun jika keluar jauh sekarang lebih sering menggunakan jilbab. Suatu kemajuan yang baik, Andrew berharap Radella terus mengenakan jilbabnya.

"Iya-iya Pak Ustadz! Udah ayo jalan!" ajak Claire setelah membonceng di belakang.

Andrew mulai menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.

"On, kemarin penyebabnya itu apa sih? Kenapa bisa tiba-tiba jadi tawuran gitu?" tanya Claire penasaran.

"Oh iya! Gue lupa mau jelasin ke lo biar nggak salah paham." Andrew mulai menjelaskan awal mulanya, ia juga mengatakan bahwa Meta mengiriminya pesan, tetapi ia abaikan.

"Meta yang cantik itu?"

"Gue aja nggak tau orangnya."

Claire menghela napas lega, bisa gawat kalau Andrew tahu orangnya. Meta ini gadis blasteran Indonesia-Belanda, cantik, tinggi, putih, langsing, hanya minus otaknya saja, tidak tahu malu.

"Bagus deh kalau lo nggak tau, bisa ditinggalin ntar gue, insecure banget kalau saingannya sama dia, udah cakep, tinggi, sedangkan gue," gerutu Claire.

"Sedangkan lo pendek, nggak cakep-cakep amat, kecil, cerewet-"

Plak!

"Jujur banget kalau ngomong!" kesal Claire cemberut.

Tawa Andrew pecah membuat siapa saja yang mendengarnya bisa terbius. "Mau secantik apapun mereka, gue sukanya sama lo, lagian semua cewek cantik menurut gue."

"Lo nggak malu punya pacar pendek?" tanya Claire.

"Kenapa harus malu? Gue lebih suka cewek pendek, tinggi lo mungkin hampir sama kayak nyokap gue," terang Andrew.

Menurutnya perempuan pendek lebih terkesan menggemaskan, tetapi perempuan tinggi juga terlihat lebih elegan.

"Lo tau nggak? Gue waktu pertama ketemu nyokap lo masa gue manggilnya Kak," curhat Claire membuat tawa renyah Andrew lagi-lagi terdengar.

Happier or Sadder? [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang