79. Membuka Hati

846 101 54
                                    

Radella berjalan ke depan untuk membukakan pintu saat mendengar bel, setelah pintu terbuka ia terkejut melihat kedatangan Derren dan Felicia.

"Untuk apa kalian ke sini?" tanya Radella.

"Del, gue mohon maafin gue, Del, gue rela lakuin apa aja asal jangan jauhin Andrew dari Claire," mohon Felicia, air mata tulusnya mengalir.

Arkan yang baru saja pulang kerja langsung bergegas turun dari mobil saat melihat mereka, ia menarik tangan Radella untuk mundur di belakangnya.

"Ternyata tidak perlu susah payah saya yang menghampiri kalian, karena kalian sendiri yang datang menyerahkan diri," ucap Arkan.

"Ar, gue tau apa yang gue lakuin di masa lalu itu benar-benar nggak termaafkan, tapi gue bakal tetap minta maaf," balas Derren.

"Maaf udah ganggu keluarga kalian selama ini, dulu gue merasa hancur banget waktu ditinggal Della, gue terobsesi sampai rela lakuin cara apapun. Maaf sebesar-besarnya, gue rela kalau lo mau bawa gue ke sel sekarang," ucap Derren, kemudian ia menunduk.

"Tapi gue mohon, jangan suruh Andrew jauhin Claire," lanjut pria itu. Matanya memancarkan kesedihan, kehancuran, juga ketulusan.

Felicia terduduk bersimbah di depan Arkan dan Radella, air matanya terus mengalir, tangannya meraih tangan Radella.

"Gue minta maaf Del, gue dulu takut kalau lo juga bakal rebut Kak Reycal, lo sendiri tau gimana sayangnya gue sama dia, tapi setelah gue dapet, dia selalu aja utamain lo, bahkan mengabaikan gue," ucap Felicia mengingat masa lalunya dulu.

"Kalau lo mau rubah keputusan tentang sabotase mobilnya nggak apa-apa kok, gue yang bakal serahin diri ke polisi, tapi please Del, jangan jauhin Andrew dari anak gue." Felicia menunduk, bahunya bergetar hebat.

Mereka sebagai orang tua tidak tega melihat putrinya terus melamun, tidak mau makan, bahkan tidak mau bicara dengan siapapun, sering tersenyum sendiri saat melihat foto-fotonya bersama Andrew, bahkan menyebut-nyebut nama 'Gema'.

"Saya tegasin kalau saya akan tetap memasukkan Anda ke dalam sel," ujar Arkan menatap Derren dingin.

"Dan saya tidak peduli dengan keadaan putri kalian," lanjutnya langsung menutup pintu.

Andrew yang berada di balkon kamar menatap Derren dan Felicia dari atas dengan sorot mata hampa, entah menggambarkan perasaan apa, semuanya bercampur antara sedih, kecewa, benci, tidak tega, dan ... rindu.

"Keadaan lo gimana, Bon? Gue harap lo selalu baik-baik aja, jangan telat makan ya, gue nggak mau lo sakit."

"Gue juga sayang sama lo, tapi keadaan yang nggak bisa bikin kita bersatu, gue kecewa sama orang tua lo."

***

Keesokan harinya Arkan dan Richard tengah duduk di teras rumah Arkan, di depannya terdapat dua kopi yang masih hangat dan satu toples keripik pisang cokelat buatan Radella.

"Ar, gue rasa lo nggak perlu sekeras itu sampai nyuruh Andrew jauhin anaknya Derren, kalau seandainya gue jadi Andrew atau Claire, rasanya itu nggak adil, orang tuanya yang salah, tapi mereka terseret di masa depannya yang nggak mereka lakuin apa-apa di masa lalu," kata Richard.

Akhir-akhir ini Richard merasa Andrew sedikit pendiam, bahkan saat ia ledek juga hanya diam saja, lebih memilih pergi ke kamar, sering melamun, jika ditanya pun menjawab seadanya.

"Gue takut dia bakal dicelakain sama mereka," jawab Arkan.

Richard menghela napas. "Gue juga takut, Andrew udah gue anggap sebagai anak sendiri, tapi lo juga harus mikirin posisi Andrew sama Claire. Derren sama Felicia juga udah minta maaf, gue rasa keadaan Claire emang nggak baik-baik aja dan mungkin mereka emang benar-benar nyesel sama perbuatannya sampai rela kalo mereka masuk penjara, nggak usah terlalu khawatir Ar, biarin anak lo bahagia, lo cukup terus pantau dia dari kejauhan, kalo udah ada tindakan yang mencurigakan, baru suruh Andrew jauhin Claire."

Happier or Sadder? [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang