"Kamu nggak capek kerja terus, Mas?" tanya Radella sembari memasangkan dasi di jas kerja suaminya.
Arkan terlihat semakin gagah saat menggunakan jas kerja.
"Capek," jawab Arkan.
"Kalau capek istirahat aja Mas, nggak usah berangkat dulu," katanya seraya membenarkan kerahnya.
"Emangnya kamu sama Andrew nggak apa-apa?" tanya Arkan, Radella mengangguk.
"Ya, nggak apa-apa, Mas."
Arkan mengangguk. "Setelah ini aku bakal istirahat."
"Nanti kalau pulang sekalian beliin kue lapis legit, ya," pinta Radella.
"InsyaAllah, aku nggak bisa janji, Ra."
"Kenapa? Kan kamu juga ngelewatin tokonya."
"Aku usahain nanti, tapi jangan terlalu berharap ya, takutnya nanti nggak ke beli," balas Arkan.
Radella mengangguk, kemudian mencium punggung tangan suaminya, setelah itu Arkan mengecup kening Radella. "Baik-baik di rumah, kalau ada apa-apa kabarin aku, kalau Sem ke sini jangan deket-deket sama dia," pesan Arkan.
Radella terkekeh, kemudian memeluk pria di depannya. "Iya, kamu juga jangan genit-genit sama cewek lain, pasang wajah dingin, pokoknya kalau digodain sama mereka jangan mau! Harus selalu ingat sama aku dan Andrew," pesan Radella.
Arkan mengangguk sembari memejamkan mata, menikmati pelukan itu. "Iya Princess."
"Udah puas pelukannya?"
Radella dan Arkan sontak menoleh pada sumber suara, di belakang mereka ada Andrew yang bersedekap dada sembari menatap orang tuanya dengan datar.
Radella tertawa sembari melepaskan pelukan itu, Andrew berjalan menghampiri mereka lantas menyalimi tangan papahnya.
"Jaga Mamah di rumah selama Papah nggak ada, jangan keluyuran terus. Jangan bolehin Mamah makan pedas, ingatin Mamah harus banyakin minum air putih, jangan cengeng, jangan makan cokelat, dan jangan telat makan," pesan Arkan panjang lebar.
"Siap Pah, aman," jawab Andrew sembari terkekeh geli.
"Kamu sekolahnya yang rajin, jangan bantah ucapan Mamah, ingat janji kamu buat nggak balapan lagi," kata Arkan.
"Iya, Papah hati-hati di jalan, jangan ngebut."
Arkan mengangguk, setelah itu ia menepuk pundak putranya pelan sebelum pergi keluar rumah.
***
Pagi ini Claire berjalan di koridor sendirian, tangannya sibuk bermain ponsel membalas pesan dari Mika, katanya gadis itu akan berangkat sedikit terlambat.
Bruk.
"Aduh!" Claire termundur, ia perlahan mendongak melihat laki-laki tinggi tegap di depannya.
Andrew dengan wajah dingin tanpa ekspresi menatapnya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, Claire berkedip beberapa kali guna memastikan tidak salah melihat. Seharusnya jika pandangan Andrew tidak teralih dari jalanan laki-laki itu menyingkir saat melihat Claire berjalan sembari bermain ponsel, bukannya justru tetap di jalan yang sama sehingga Claire menabraknya, seakan Andrew sengaja agar ditabrak olehnya.
"Ma-maaf, gue nggak sengaja," ucap Claire langsung menunduk.
Menatap Andrew lama-lama membuat Claire lemah, rasanya baru saja waktu itu Claire memeluknya, dan sekarang mereka sudah seperti orang yang tidak saling mengenal.
Andrew tetap diam tak bergerak, bahkan tidak membalas ucapan Claire, hanya menatapnya dengan diam.
Claire yang sudah tidak kuat memilih untuk menyingkir dan berjalan melewati Andrew, sepertinya laki-laki itu masih sangat membencinya.
"Kalau jalan jangan sambil main HP."
Tubuh Claire membeku mendengar suara berat yang sangat ia rindukan, matanya berkaca-kaca, senyum harunya mengembang. Claire perlahan menoleh ke belakang, Andrew sudah berjalan melangkah pergi tanpa menoleh.
Singkat, namun sangat hangat bagi hati Claire. Ada sepercik semangat untuk melanjutkan hidup lagi setelah mendengar itu karena saat mendengar kenyataan semuanya Claire sangat hancur, ia merasa tidak memiliki masa depan lagi, semuanya kacau, Claire selalu berdoa setiap malam agar tidak bangun lagi. Satu-satunya manusia yang bisa mengembalikan senyumnya hanya Andrew, tetapi laki-laki itu justru pergi.
Dan sekarang ternyata ....
Andrew, masih peduli dengannya.
***
Malam ini Andrew makan malam berdua dengan Radella, sepertinya Arkan lembur makanya belum pulang, padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Mereka memang makan malam sedikit telat karena menunggu Arkan pulang.
"Mah, jangan ngelamun," ucap Andrew setelah menghabiskan makanannya.
Radella tersadar. "Papah nggak bisa dihubungin, Ndrew, padahal biasanya kalau lembur 'kan bilang," kata Radella, firasatnya tidak enak.
"Coba telpon Om Daniel, kalau Om Daniel nggak diangkat juga mungkin lagi meeting, Mah," jawab Andrew berusaha untuk positif thinking meskipun perasannya dari tadi sudah tidak enak.
Radella mengangguk, ia mencari kontak asisten suaminya sebelum menekan tombal telepon.
"Selamat malam, Bu," sapa Daniel dari seberang sana.
"Malam, Niel, Mas Arkan sama kamu nggak? Apa dia masih di kantor?" tanya Radella cemas.
"Maaf Bu, tapi Pak Arkan udah pulang sekitar setengah jam yang lalu," jelas Daniel membuat Radella dan Andrew saling tatap.
"Ohh, ya sudah makasih, Niel." Setelah memutuskan panggilan Radella menghela napas panjang.
"Biar Andrew cari, Mah, mungkin bannya bocor di jalan terus baterai handphonenya habis. Mamah tunggu di rumah aja," ucap Andrew berdiri dari duduknya.
"Mamah mau ikut, sekalian nanti mampir di minimarket," ujar Radella, Andrew mengangguk pasrah, khawatir juga jika malam-malam mamahnya di rumah sendirian, hanya ada empat satpam yang berjaga di gerbang depan.
Mereka keluar rumah dengan mobil Aston Martin Vanquish Ultimate Volante milik Andrew, mobil itu hadiah dari Arkan saat Andrew berulang tahun yang ke tujuh belas.
Sorot mata gelisah Radella menatap ke jalanan, ia terus berdoa agar suaminya baik-baik saja.
"Kamu ke mana sih, Mas?" batin Radella, tidak biasanya Arkan seperti ini.
"Mah, itu ada apa ya rame-rame?" tanya Andrew menatap ke tepi jalanan di mana orang-orang berkerumun.
"Mamah nggak tau, mungkin ada yang kecelakaan," jawab Radella hanya menatap itu sekilas sebelum kembali menatap ke depan.
Andrew terus menatap kerumunan itu dengan penasaran, matanya membulat sempurna saat melihat di dalam celah orang-orang terlihat plat mobil milik papahnya. Mobil Ferrari hitam itu hancur di dekat pembatas jalan, asap putih masih terus keluar.
"Mah, itu mobil Papah, Mah!"
Andrew menepikan mobilnya, kemudian ia bergegas keluar bersama Radella, menerobos kerumunan itu.
Radella menutup mulutnya sendiri sembari menggeleng tak percaya, air matanya meluruh tanpa bisa ia cegah saat melihat keadaan seseorang yang tergeletak di jalanan dengan kening, hidung, dan sudut bibir mengalirkan darah, matanya terpejam membuat tubuh Radella seketika lemas.
-Bersambung-
Kurang beberapa part lagi ending🌝
•Kalian pengin Happier or Sadder endingnya happy atau sad?
•Kangen nggak sama Onta-Bonsai?
•Menurut kalian Arkan bakalan gimana?
Spam komen sebanyak-banyaknya biar aku cepat update, ajak teman-teman kalian buat ikutan baca dan ss chapter menarik menurut kalian biar HoS makin ramai^^
Terima kasih, see youuuu <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier or Sadder? [END] ✓
Teen Fiction|| SEKUEL CERITA TEARS OF SINCERITY || ⚠️ Cerita yang bakal bikin kalian suudzon, emosi, dan senyum-senyum sendiri! ⚠️ *** Pernahkah kamu berkhayal? Menghayal menginginkan hidup bersama seorang Pangeran. Namun, sudahkah kamu memikirkan bagaimana keh...