05. Hilang

15.1K 1K 34
                                        

Ira mengerutkan keningnya sambil memicingkan mata ke arah Bian. “Apaan si lo? Orang gue lagi ngobrol sama suster juga. Geer banget,” cibir Ira.

Kemudian ia merangkul lengan suster dan mengajaknya tetap berlalu dari hadapan Bian.

“Emangnya gue gak tau? Siapa lagi yang pendatang yang lo maksud kalau bukan gue?” tanya Bian, meski Ira sudah meninggalkannya.

Ira tidak menjawab, ia malah mengacungkan ibu jarinya. Kemudian membalik ibu jari tersebut ke bawah.

Sontak saja Bian semakin kesal padanya. “Sialan! Awas aja, tunggu pembalasan gue,” gumam Bian, kesal.

Anak buah Bian bingung melihat komandannya seperti itu. Sebab tidak biasanya Bian begitu. Kali ini mereka seolah melihat Bian tak berwibawa sama sekali.

“Komandan kenapa, sih?” bisik anak buah Bian pada temannya.

“Gak tau tuh! Kayaknya gak pernah akur sama dokter Ira, deh.”

“Apa mereka pernah pacaran terus putus, ya?”

“Atau jangan-jangan Komandan pernah ditolak?” Mereka sibuk berasumsi sendiri. Sebab mereka bingung mengapa Bian bisa sebegitu bencinya pada Ira.

“Ehem!” Bian berdehem karena mendengar namanya disebut. Namun ia tidak dapat mendengar dengan jelas apa pembicaraan mereka.

“Hehehe, Ndan. Kenapa kayaknya kok agak kurang akur sama dokter Ira, ya?” tanya anak buah Bian, kikuk.

Bian tidak menjawabnya.

“Apa Komandan dan Dokter Ira pernah punya hubungan?”

Sontak Bian langsung menoleh. “Jangan sembarangan kamu! Mana mungkin aku memiliki hubungan dengan wanita bar-bar seperti dia?” tanya Bian, kesal.

Ia tidak terima dituduh pernah memiliki hubungan dengan Ira. Padahal sebentar lagi mereka memang akan memiliki hubungan.

“Kirain, Ndan. Soalnya kelihatan cocok banget,” ledek anak buah Bian.

“Matamu meledak! Cocok dari mananya?” Bian sangat kesal jika disandingkan dengan Ira.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di rumah kepala desa. Mereka pun langsung disuruh makan oleh istri dari kepala desa.

“Ayo silakan, makan dulu! Jangan malu-malu,” ucap istri kepala desa. Ia paling senang menjamu orang lain.

Melihat Ira mengambil makanan, Bian berpikir keras bagaimana caranya membalas Ira yang sudah mencibirnya itu.

“Awas lo, ya!” gumam Bian. Kemudian ia mengambil makanan saat Ira sudah duduk.

Setelah mengambil makanan, Bian mencari kursi. Namun sayang, hanya ada tiga kursi yang kosong yaitu di samping Ira.

Melihat hal itu, anak buah Bian pun tersenyum. Mereka berlari kecil untuk mengisi dua kursi paling ujung agar Bian bisa duduk sebelahan dengan Ira.

“Heh!” tegur Bian. Namun mereka tak mengindahkannya.

“Ah, sial! Kenapa harus di samping dia, sih?” keluh Bian. Mau tidak mau ia duduk di samping Ira.

Saat Bian mendaratkan tubuhnya di kursi, Ira langsung bergeser dan memunggungi Bian.

Sontak saja Bian pun melakukan hal yang sama. Ia tidak pernah mau kalah dari Ira.

“Mereka kayak suami istri lagi marahan, ya?” bisik anak buah Bian.

Plak!

Bian menepuk punggungnya. “Bicara apa, kamu?” tanyanya dengan suara baritone yang sedikit menggema.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang