24. Sama-sama Khilaf

16.6K 865 45
                                    

“Kamu ini mau nanya apa ngagetin?” tegur Bian. Ia kesal karena anak buahnya itu sangat mengejutkan.

“Hehehe, Komandan udah kayak orang lagi mojok di semak-semak aja. Oake kaget segala,” ledek anak buah Bian.

“Ck! Sembarangan. Mau aku tembak kamu, hah?” ancam Bian sambil mengambil senjata yang ada di balik jaketnya.

“Hehehe, jangan dong, ndan! Maaf, Ndan. Ini kan masih pagi, jadi harus semangat. Kalau gak semangat nanti disuruh lari di lapangan 7 putaran,” jawab anak buah Bian.

“Oke, kalau begitu karena kamu terlalu bersemangat, sekarang kamu lari sepuluh putaran!” perintah Bian.

“Lho, kok gitu, Ndan?” tanya anak buah Bian. Ia baru saja selesai joging. Akan sangat melelahkan jika harus berlari lagi.

“Ini perintah! Cepat LAKSANAKAN!” bentak Bian.

“SIAP! LAKSANAKAN!” jawab anak buah Bian sambil memberi hormat padanya. Ia pun langsung berlari menuju lapangan.

Ira tersenyum melihat anak buah Bian terbirit-birit. “Hehehe, enak ya jadi komandan. Bisa ngehukum dan nyuruh-nyuruh anak buahnya,” ucap Bian.

“Gak semudah itu, kok. Tanggung jawab komandan itu besar. Menyangkut keamanan wilayah dan anak buahnya. Jika sampai ada yang menjadi korban, tentu aku merasa ada beban moral,” ujar Bian.

“Lagi pula aku pasti memberi hukuman fisik. Tujuannya agar fisik mereka jauh lebih kuat. Kan semakin dilatih akan semakin tahan banting,” jelas Bian.

“Berarti kamu tahan banting juga, dong?” tanya Ira. Namun kemudian ia malu dengan pertanyaannya sendiri.

“Kenapa? Kamu mau coba banting aku?” canda Bian sambil menggaruk tengkuknya. Ia pun malu karena konotasi yang Ira tanyakan itu mengandung banyak arti.

“Eh, enggak. Hehehe, aku cuma bercanda, kok,” ucap Ira, malu-malu.

“Serius juga gak apa-apa,” gumam Bian sambil memalingkan wajahnya.

Mereka seperti ABG yang sedang pendekatan. Sama-sama malu. Padahal mereka sudah dewasa dan seharusnya bisa bersikap lebih tenang.

“Ya udah aku duluan, ya. Terima kasih udah anterin aku,” ucap Ira saat hendak berbelok.

“Oke, nanti sore aku jemput lagi,” jawab Bian. Kemudian mereka melanjutkan jalan masing-masing.

Bian dan Ira sama-sama senyum sendiri. Kemudian mereka pun saling menoleh dan hal itu membuat mereka salah tingkah.

Saat saling menoleh, mereka mengangguk karena bingung hendak mengatakan apa.

‘Duh, pake noleh segala. Jadi ketahuan, kan,’ batin Ira sambil tersenyum.

“Ehem, Bu Dokter kayaknya happy banget ya akhir-akhir ini,” gumam suster.

“Suster bisa aja, hehe.”

“Sering-sering aja happy kayak gitu, Bu. Jadi positive vibes. Kan jadi semangat juga kerjanya, hee,” jawab suster.

“Aamiin ... doain aja biar happy terus, Sus,” jawab Ira.

“Pastinya! Kalau dokter happy kan aku juga jadi happy.”

“Idih, so sweet banget, sih,” ledek Ira.

Beberapa hari kemudian, mereka pergi ke bukit untuk menemui anak-anak.

“Udah siap?” tanya Bian saat Ira keluar dari rumahnya.

“Siap, dong! Tapi aku gak salah kostum, kan?” tanya Ira. Saat itu ia mengenakan pakaian casual serta sepatu. Sebab mereka akan pergi ke bukit.

“Gak, kok. Itu cocok banget, malah. Jadi kamu bisa lebih leluasa bergerak,” jawab Bian.

“Ya udah kalau begitu mau jalan sekarang apa gimana?” tanya Ira lagi.

“Ayo!” sahut Bian.

“Itu apa?” Ira melihat Bian membawa ransel yang cukup besar.

“Ini isinya buku dan beberapa hadiah untuk mereka,” jawab Bian.

“Wah ... tau begitu aku siapin hadiah juga buat mereka. Kan pasti mereka happy kalau hadiahnya banyak.” Ira ingin melihat anak-anak yang ada di sana bahagia.

“Gak apa-apa, kan masih bisa lain kali. Siapa tau nanti kamu bisa pulang ke Jakarta terus balik lagi ke sini,” ucap Bian sambil tersenyum.

“Emm, kalau bisa sih, misalnya udah balik ke Jakarta. Aku gak perlu balik lagi ke sini, hehe.”

“Iya juga, ya. Lagian ngapain kamu ke sini lagi. Kan gak ada yang penting juga buat kamu.” Bian berusaha memancing Ira.

Ira hanya menjawabnya dengan senyuman. Sebab ia bingung karena sebenarnya saat ini ia senang jika berada di dekat Bian.

Mereka pun berjalan menuju bukit.

“Yang lain gak ada yang ikut?” tanya Ira.

“Enggak. Biasanya aku sendirian. Kalau weekend begini mereka kerja bakti. Tapi kadang-kadang ikut sih,” jawab Bian.

“Ooh ... udara di sini seger banget, ya? Pantesan orang sini sehat-sehat,” ucap Ira. Ia sangat senang menghirup udara yang sangat minim polusi itu. Ia pun merentangkan tangannya ketika berjalan menaiki bukit.

Bian tersenyum melihat Ira seperti itu. Ia yang berada di belakang Ira pun jadi ingin memeluknya. Membayangkan menikmati pemandangan indah sambil memeluk Ira dari belakang membuat Bian bahagia.

‘Mikir apa aku ini. Mana mungkin dia mau dipeluk begitu. Yang ada nanti aku ditendang sama dia. Waktu di hutan aja dia ngamuk,’ batin Bian sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Saat itu mereka berjalan menyusuri jalan setapak. Ketika Ira sedang melangkah, tiba-tiba ia salah menginjak, hingga terhuyung ke belakang.

“Aaa!” pekik Ira.

Bian pun dengan sigap menangkapnya. Sehingga ira jatuh tepat di belakang Bian. Membuat khayalan Bian yang ingin memeluk Ira dari belakang itu terkabul menjadi kenyataan.

“Hati-hati!” bisik Bian. Namun ia yang khilaf itu bukan melepaskan Ira, tetapi malah mendekapnya.

Ira yang terkejut pun merasa nyaman ketika dipeluk oleh Bian seperti itu. Mereka sama-sama terdiam untuk beberapa saat, sambil menikmati semilir angin yang membelai kulit mereka.

“Nyaman banget, ya?” gumam Bian sambil memejamkan matanya, tanpa sadar.

“Iya,” sahut Ira. Ia pun memejamkan matanya.

“Coba bisa sering-sering begini,” bian kelepasan.

Sontak mereka berdua sama-sama membuka mata. Kemudian Ira pun langsung beringsut dan Bian melepaskan pelukannya.

“Eh, maaf! Itu ... kamu hati-hati jalannya!” ucap Bian, salah tingkah.

“I-iya, tadi aku gak sengaja nginjek sesuatu. Entah apa yang aku injak,” jawab Ira, sambil pura-pura mencari apa yang telah membuatnya terjatuh ke belakang.

“Y-ya udah, kita lanjut, yuk!” ajak Bian, kikuk.

“Oh iya, ayo!” sahut Ira dengan suara yang tak terkontrol. Ia sangat malu karena malah menikmati pelukan Bian.

‘Haduh, kenapa aku bodoh banget. Bisa-bisanya malah nikmatin kayak gitu?’ batin Ira, meruntukki dirinya.

‘Kira-kira dia bakalan mikir macem-macem gak, ya? Aku jadi gak enak,’ batin Bian. Merasa bersalah karena ucapannya yang terakhir tadi.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang