19. Merasa Miris

11.8K 913 33
                                    

Ira dan Bian langsung terkesiap saat ditanya seperti itu oleh anak kecil.

“Memangnya kamu tau pacar itu apa?” tanya Bian. Ia tidak langsung mengelak. Sebab Bian ingin tahu apakah anak-anak itu mengerti dengan apa yang mereka tanyakan.

Para anak-anak itu malu saat ditanya seperti itu oleh Bian.

“Tau, gak?” tanya Bian lagi.

“Hehehe, pacaran itu begini,” ucap anak-anak itu sambil mengerucutkan kedua jemarinya, kemudian menyatukan ujung jemarinya tersebut.

Bian dan Ira ternganga. Mereka tak menyangka anak-anak yang kemungkinan masih SD itu sudah memahami hal tersebut.

“Kata siapa? Kalian tau dari mana kayak gitu?” tanya Bian lagi. Ia merasa miris karena anak sekecil itu pikirannya sudah dewasa.

“Kami suka lihat di TV, hehehe,” jawab mereka, polos.

Di wilayah tersebut, mereka bisa menonton televisi menggunakan parabola. Mungkin para anak-anak itu menonton siaran yang bukan untuk usianya. Sehingga mereka sudah terkontaminasi seperti itu.

“Hem ... harusnya kalian itu menonton tayangan yang sesuai dengan usia kalian. Jangan menonton hal yang tidak pantas! Dari pada memikirkan yang seperti itu, lebih baik kalian belajar. Apa kalian tidak mau jadi seperti kami?” tanya Bian.

“Tidak! Kami mau main saja. Bekerja itu capai,” jawab anak-anak itu, jujur.

Bian dan Ira semakin tidak habis pikir. Mereka merasa miris melihat anak-anak kurang teredukasi.

‘Duh, gimana ini? Menjelaskan pun percuma karena pasti akan panjang,’ batin Bian.

Akan tetapi, saat ia sedang berpikir, Bian melihat salah satu dari mereka sedang berjongkok sambil asik menghisap rokok.

“Astaga! Kamu sedang apa?” tanya Bian saat menyadari hal itu.

“Sedang merokok, Om,” jawab anak itu, santai.

“Kamu tidak boleh merokok! Itu tidak sehat, bahaya,” tegur Bian.

“Tapi aku suka. Bapakku saja merokok,” sahut anak itu.

“Bapak kamu kan sudah dewasa.”

“Berarti kalau sudah dewasa boleh?”

Bian dibuat jengkel oleh pertanyaan anak-anak itu. Sebab pertanyaannya membuat Bian semakin sulit untuk menjelaskan.

“Bukan begitu. Pokoknya rokok itu tidak baik untuk kesehatan. Dari pada merokok, lebih baik kamu makan kue,” jelas Bian.

“Lagian, kamu dapat dari mana rokok ini?” tanya Ira.

“Ada, deh. Hahaha.” Mereka malah meledek.

‘Astaga! Aku harus ekstra sabar menghadapi anak-anak ini,’ batin Ira.

“Sini rokoknya!” Bian merebut rokok yang ada di tangan anak itu. Ia sudah kesal karena anak itu malah meledek Ira.

“Jangan, Om!” Anak itu berusaha menolak.

Meski begitu, Bian tetap merampas rokok anak tersebut. Sebagai aparat keamanan, Bian bersikap tegas. Apalagi menurutnya rokok sangat membahayakan bagi anak-anak.

“Lain kali jangan seperti itu lagi, ya! Kalau Om lihat kamu merokok lagi, akan Om hukum. Paham?” tanya Bian. Ia masih berusaha bersikap baik pada anak itu.

Anak itu pun akhirnya menangis karena rokoknya diambil Bian. Kemudian mereka semua berlari.

“Astaghfirlullah ... miris sekali,” gumam Ira. Sebenarnya ia tidak menyangka Bian bisa tegas pada anak kecil. Namun ia memakluminya. Sebab sudah pasti pendidikan militer sangat keras. Sehingga tidak ada toleransi jika melihat sesuatu yang dinilai salah.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang