72. Cerita Bian

14.6K 865 25
                                    

"Kamu hebat, Sayang. Aku sangat puas," bisik Bian, sambil memeluk Ira yang terkulai lemas di atas tubuhnya. Saat itu mereka baru saja melakukan pergulatan panas.

Cinta mereka sangat menggebu karena sempat terpisahkan dalam waktu yang lama. Entah apa lagi yang akan mereka hadapi ke depannya.

Saat azan subuh berkumandang, Ira membuka matanya. Meski semalam mereka baru melewatkan malam yang panas, tetapi mereka masih bisa bangun tepat waktu.

"Alhamdulillah ...." Ira membaca doa setelah bangun tidur. Kemudian ia menoleh ke sebelahnya, terlihat Bian masih terlelap.

"Duh, yang abis kerja keras, nyenyak banget tidurnya," gumam Ira sambil tersenyum. Ia pun mengusap wajah Bian yang sedang tidur menghadap ke arahnya itu.

"Iya, aku emang ganteng," gumam Bian tanpa membuka matanya. Kemudian ia menggenggam tangan Ira yang ada di wajahnya itu.

"Iih, kirain belum bangun," keluh Ira, manja. Ia sempat terkejut saat Bian menjawabnya.

Bian malah mendekap Ira. "Udahlah, soalnya bukan cuma aku yang bangun," ucap Bian, sambil mengecup kening Ira.

"Hah?" Ira tidak paham.

Bian pun merapatkan tubuhnya. "Nih, si adik juga ikut bangun. Malah dia bangun duluan," bisik Bian.

"Kamu, nih!" Ira terkekeh. Ia tak menyangka ada hal seperti itu. "Kok bisa sih bangun tidur udah tegang begini?" tanya Ira, heran. Ia pun malu-malu karena ini baru hari kedua mereka menjadi suami istri.

"Bisalah. Jangankan jam segini. Lagi nyenyak tengah malem aja bisa bangun. Makanya kamu harus siap-siap ngeloninnya kapan pun!" pinta Bian.

"Kok aku?" tanya Ira, sambil mengerutkan keningnya.

"Terus aku mau minta sama siapa? Kan kamu istri aku. Masa minta sama orang lain?" sahut Bian.

"Hehehe, tapi gak tengah malem pas tidur juga, kan?" tanya Ira.

"Ya itu mah risiko kamu sebagai istri. Kalau kamu gak bisa bangun, nanti biar aku ambil sendiri jatahnya," jawab Bian, santai.

"Dasar! Hihihi." Ira merasa Bian sangat konyol.

"Mumpung belum keramas, kita lanjut yang semalam, yuk!" ajak Bian, genit.

"Tapi kan ini udah subuh, Bi," sahut Ira, sedikit keberatan.

"Kan waktunya masih panjang. Aku janji cuma sebentar aja. Dari pada nanti bangun terus, kan repot," ucap Bian. Kemudian ia langsung naik ke tubuh istrinya tersebut.

Akhirnya pagi itu mereka mengulangi kegiatan semalam.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah selesai mandi. "Ayo kita shalat berjamaah, Sayang!" ajak Bian.

"Iya, Bi. Tapi gara-gara kamu aku jadi lemas," keluh Ira, sambil menekuk wajahnya.

"Tapi enak, kan?" goda Bian.

Ira tersenyum malu. "Udah deh, gak usah ngeledek!" Ira protes karena Bian malah membuatnya malu.

"Lagian, sama-sama enak juga pake protes. Namanya pengantin baru, wajar dong kalau aku pingin terus," sahut Bian, nakal.

"Ya udah, ah! Ayo shalat," ajak Ira, kesal.

Mereka pun shalat berjamaah dengan khusuk.

Selesai shalat, Bian memanjatkan doa, kemudian ia menoleh ke belakang untuk bersalaman dengan Ira.

"Alhamdulillah," ucap Bian. Mereka pun duduk bersandar pada tempat tidur.

"Huuh! Setelah perjuangan panjang aku, akhirnya sekarang kamu jadi milik aku," ucap Bian sambil menggenggam tangan Ira.

"Tapi aku sebel, Bi. Kenapa sih kamu itu gak cerita ke aku? Kalau kamu cerita kan aku gak akan gelisah nungguin kamu tanpa kabar," keluh Ira.

Bian menatap istrinya itu. "Yakin gak akan gelisah? Tapi aku sih lebih yakin kalau kamu tau apa yang aku lakuin, kamu pasti gelisah karena takut aku mati," jawab Bian.

"Bi! Ngomongnya jangan sembarangan, dong!" tegur Ira, sebal.

"Nah! Baru denger gitu aja kamu udah khawatir, gimana kalau kamu tau aku lagi disandera mafia, setelah itu diincar oleh mereka? Terus, kalau aku cuma bilang lagi ada misi, kamu juga pasti penasaran, kan? Aku tuh tau kalau kamu ini kepo," ucap Bian.

Pria itu mencubit hidung istrinya karena gemas.

"Iyalah. Lagian apa susahnya sih jelasin?"

"Sayang, aku tuh banyak banget pertimbangan. Selain karena alasan tadi, aku juga gak bisa menjelaskan misi rahasiaku ini ke kamu. Sebab aku sudah disumpah. Jangankan kamu yang cuma pacar, terkadang yang sudah jadi istri aja gak boleh dijelasin detil," jelas Bian.

"Tapi kan gak harus pake pura-pura gak kenal!" Ira protes.

"Ya waktu itu kan misi aku belum beres. Kalau aku gak pura-pura, nanti kamu mencecar aku dengan banyak pertanyaan. Belum lagi kamu suka nekat, nanti kamu nyariin aku buat minta penjelasan. Pokoknya banyak deh pertimbangan aku," jelas Bian.

"Dih, pede banget. Siapa juga yang mau nyariin!" ucap Ira, sambil mencebik.

"Waktu itu ada yang mendadak terbang ke Surabaya karena denger aku tertembak, siapa ya?" ledek Bian.

"Ya itu kan beda ceritanya. Dulu kan kamu tertembak," ujar Ira.

"Nah, aku tertembak aja kamu panik. Gimana kalau denger aku disandera sama mereka, terus aku disiksa dan sempat hampir dibunuh?" skak Bian.

Ira ternganga. "Serius?" lirihnya.

"Kamu lihat sendiri kan di badan aku banyak bekas luka? Nih, yang paling jelas," ucap Bian sambil menunjukkan bekas sayatan di lehernya.

"Bi ...," lirih Ira.

"Waktu itu aku hampir mati, Ra. Tapi alhamdulillah aku masih dilindungi sama Allah. Kebetulan ada anak buah mafia itu yang nolongin aku, jadi bisa lolos dari mereka," jelas Bian.

"Kok bisa?" Ira bingung.

"Kamu inget kan waktu kita ditangkap di perbatasan?" tanya Bian.

"Iya, kenapa?"

"Nah, mereka orang yang sama. Tapi beda bosnya. Jadi bos yang dulu sudah melepaskan bisnisnya itu dan diambil alih oleh anak buahnya," jelas Bian.

"Terus?"

"Kebetulan yang nolong aku ini ada masalah dan intinya dia udah gak satu frekuensi sama mereka. Jadi dia mau nolongin aku dengan catatan aku harus bebasin dia juga. Jadi kami sama-sama saling membantu."

"Kok dia percaya sama kamu?" tanya Ira, heran.

"Aku kan jago. Emang kamu gak tau?" sahut Bian, bangga.

"Kamu, nih! Aku nanya serius, juga," keluh Ira.

"Lho, aku juga serius. Dia tau kemampuan aku, makanya dia percaya aku bisa nolongin dia keluar dari markas mereka. Soalnya, kalau ada yang berkhianat, biasanya akan dibunuh oleh mereka. Makanya setelah berhasil bebas, untuk sementara dia kami sembunyikan dulu agar selamat," jelas Bian.

"Ternyata suami aku hebat, ya," puji Ira.

"Iya, dong. Kalau gak hebat, mana mungkin sekarang aku bisa ada di sini dan jadi suami kamu. Palingan aku udah tinggal nama," sahut Bian.

"Kamu mah ngomongnya begitu mulu!" Ira mencubit perut Bian.

"Hayo ... kamu lupa sumpah kamu sebagai istri TNI? Kamu harus ikhlas menerima kondisi apa pun. Dan kamu juga tau tugas aku memang berisiko," ucap Bian.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang