Mendengar suara anak buah Bian, mereka langsung salah tingkah. Apalagi anak buah Bian malah menggoda mereka.
“Wah, jaganya lancar ya, Ndan?” sindir anak buah Bian. Mereka ingin tertawa melihat Bian yang tertangkap basah sedang asik menikmati mie berdua.
“Sore!” sahut Bian, kikuk. Ia sangat malu karena ketahuan anak buahnya sedang berduaan dengan Ira.
“Silakan dilanjut, Ndan! Anggap aja kami gak lewat,” ucap anak buah Bian. Namun anak buah Bian yang langsung berlalu itu membuat Bian tidak bisa menjelaskan apa pun.
‘Ck! Sial. Pasti mereka sengaja lewat ke sini. Ini kan bukan jam patroli,’ batin Bian. Ia sudah hafal jadwal patroli. Sehingga Bian yakin mereka memang sengaja ingin mengecek Bian dan Ira.
Ira bingung hendak komentar apa. Sebenarnya ia pun malu pada anak buah Bian tersebut.
“Ya udah dilanjut! Nanti keburu bengkak,” ucap Ira, canggung.
“Iya,” sahut Bian.
Mereka pun kembali menikmati mie buatan Ira tersebut.
“Kamu sering makan mie instant?” tanya Bian.
“Enggak juga. Kalau lagi pingin aja. Kan gak boleh sering-sering,” jawab Ira.
“Ooh, tapi kamu gak anti, ya?” tanya Bian lagi.
“Enggaklah. Gimana pun mie instant itu enak. Apalagi kalau cuaca begini,” jawab Ira.
“Iya biasanya kan dokter itu cuma makan makanan yang sehat aja. Sedangkan mie instant katanya kan kurang baik,” ujar Bian.
“Iya, kurang baik kalau makannya berlebihan. Kalau makannya gak terlalu sering sih gak masalah,” ucap Ira.
“Ooh begitu. Ya syukurlah, jadi nanti kalau udah nikah, makannya gak repot karena bisa makan apa aja, hehe,” ucap Bian sambil memalingkan wajah.
Mendengar kata nikah, Ira mendadak ingat kejadian di hutan tadi. Seketika pipinya pun terasa panas. Ia menunduk karena malu atas apa yang telah mereka lakukan. Hidungnya pun kembang kempis karena menahan senyuman.
Saat sedang memalingkan wajahnya, Bian menggigit bibir bawahnya. Ia seolah masih merasakan bagaimana ketika dirinya mencumbu Ira.
“Ehem!” Bian berdehem untuk menetralkan tenggorokannya yang tercekat.
Saat mereka sama-sama sedang kikuk, tiba-tiba ponsel Ira berdering. Ia pun merasa seperti sedang diselamatkan. Ira segera menjawab panggilan tersebut.
Telepon terhubung.
“Ya, Assalamu alaikum, Pah,” ucap Ira.
“Waalaikum salam. Gimana kabar kamu, Ra?” tanya Muh.
“Alhamdulillah baik, Pah. Gimana persiapan resepsi Abang? Pasti lagi pada sibuk banget, ya?”
“Ya begitulah. Apalagi persiapannya lumayan singkat, kan. Sayang sekali kamu gak bisa datang,” ujar Muh.
“Gak apa-apa, Pah. Yang penting kan nanti aku ada pas acara nikahanku, hehehe,” ucap Ira, kelepasan. Ia sudah biasa bercanda dengan papahnya. Sehingga lupa bahwa di sebelahnya ada Bian.
Ira pun malu karena ucapannya barusan seolah ingin memberi tahu bahwa dirinya akan menikah.
“Wah, kayaknya ada yang mau nikah, nih?” pancing Muh.
“Enggak kok, Pah. Aku cuma bercanda. Tapi kan cepat atau lambat, itu pasti akan terjadi. Bukan begitu, Pak?” tanya Ira.
“Oooh, seperti itu ya, Bu? Tapi sebenarnya ada kabar baik untuk Ibu,” canda Muh.
“Apa, tuh?” tanya Ira. Mendengar ada kabar baik, wajah Ira langsung berbinar.
“Alhamdulillah Papah udah dapet pengganti kamu. Jadi sekitar tiga minggu atau sebulan lagi kamu udah bisa balik ke Jakarta,” ucap Muh.
Ira yang tadi tersenyum pun langsung terdiam. Entah mengapa ia tidak antusias mendengarnya. Mungkin karena saat ini ia lebih senang tinggal di perbatasan bersama Bian.
“Ra! Kamu masih di sana, kan?” tanya Muh. Ia heran karena tidak mendengar suara Ira.
“I-iya Pah. Jadi sebulan lagi aku bisa balik ke Jakarta, ya?” tanya Ira sambil menoleh ke arah Bian. Ia ingin melihat reaksi pria itu.
Mendengar hal itu, Bian pun langsung menoleh dan menatap Ira. Ia tidak menyangka Ira akan kembali secepat itu.
“Kamu kok kayak gak seneng gitu mau pulang ke Jakarta?” tanya Muh, heran.
“Enggak kok, Pah. Ya senenglah. Masa gak seneng? Itu, aku cuma kaget aja. Gak nyangka bisa secepat itu,” jawab Ira.
“Kamu tuh! Kalau ada apa-apa mbok ya bilang sama Papah! Masa kamu menghadapi situasi berbahaya seperti itu diam-diam aja?” tegur Muh.
Ternyata Muh mempercepat pemulangan anaknya itu karena mengetahui bahwa Ira sempat diculik. Sehingga ia rela harus membayar mahal seseorang untuk menggantikan anaknya itu.
“Lho, Papah tau dari mana?”
“Gak penting tau dari mana. Kamu tuh anak Papah. Jadi Papah tau apa yang terjadi sama kamu. Makanya kamu hati-hati, ya! Mata Papah ada di mana-mana,” jelas Muh.
Gluk!
Ira langsung panas dingin. Ia khawatir papahnya itu mengetahui kejadian di hutan tadi. “P-papah mata-matain aku?” tanya Ira, gugup.
“Enggak! Papah cuma ngejaga kamu. Ya udah pokoknya kamu siap-siap aja! Nanti mau dijemput apa gimana?” tanya Muh lagi.
“Gak usah, biar aku pulang sendiri! Tapi nanti tolong pesenin tiket pesawatnya aja ya, Pah. Papah kan tau di sini susah sinyal,” ujar Ira.
Jika sudah seperti itu, mau tidak mau ia harus tetap pulang.
“Oke. Pokoknya kamu hati-hati di sana, ya! Jangan nakal!” ucap Muh.
“I-iya Pah,” sahut Ira. Kemudian ia menggigit bibir bawahnya karena merasa bersalah.
“Oke! Salam buat yang suka jagain kamu. Assalamu alaikum,” ucap Muh.
“W-waalaikum salam,” sahut Ira. Ia tercenung seperti orang terhipnotis.
‘Kok Papah tau ada yang jagain aku?’ batin Ira. Ia langsung berdiri dan mengecek ke sekelilingnya. Namun Ira tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan sama sekali.
‘Ck! Papah nih bikin gak nyaman aja, deh,’ keluh Ira dalam hatinya.
“Kenapa, Ra?” tanya Bian.
“Eh, gak apa-apa,” sahut Ira. Ia pun kembali duduk.
“Maaf, bukan bermaksud nguping. Tapi kalau gak salah dengar, kamu mau kembali ke Jakarta, ya?” tanya Bian.
“Iya, kata Papah aku sebulan lagi aku udah bisa balik ke Jakarta,” jawab Ira.
Satu sisi Bian merasa berat harus berpisah dengan Ira. Namun di sisi lain ia senang. Sebab, artinya ketika Bian pulang ke Jakarta, mereka bisa langsung menikah.
“Bagus dong, Ra,” ucap Bian.
“Kok bagus?” tanya Ira sambil mengerutkan keningnya. Ia sedikit kecewa dengan ucapan Bian barusan. Sebab Bian tidak terlihat sedih ketika harus berpisah dengannya untuk sementara waktu.
“Ya bagus. Artinya pas aku pulang ke Jakarta nanti kita bisa langsung nikah. Gak perlu nunggu setahun lagi, hehe,” jawab Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...