“Kamu nih kalau aku ngomong selalu salah paham, deh!” ucap Bian, heran.
“Ya kamu bilangnya begitu. Bener dong kalau aku anggap kamu ragu?” skak Ira.
“Oke! Mungkin emang akunya yang gak pandai merangkai kata. Jadi ucapanku sering bikin kamu salah paham. Intinya aku bukan ragu sama kamu. Tapi aku bangga karena ternyata perasaanmu lebih dalam dari yang aku bayangkan,” jelas Bian.
Ira yang hendak marah pun langsung terdiam. Namun hidungnya merekah karena menahan senyuman. Hal itu membuat Bian terkekeh.
“Kenapa ketawa?” tanya Ira, sebal.
“Kamu tuh, mau senyum aja pake ditahan! Sampe hidungnya kembang kempis begitu,” ledek Bian.
Sontak saja wajah Ira langsung merona. Ia sangat malu karena ketahuan sedang menahan senyum.
“Kayaknya kamu udah sehat. Aku mau pulang aja, deh. Nanti keburu malem,” ucap Ira sambil melihat jam.
“Pulang?” tanya Bian. Ia seolah tidak percaya bahwa Ira akan pulang.
“Iya. Aku kan ke sini gak bawa apa-apa. Besok juga aku harus kerja lagi. Jadi lebih baik aku pulang,” jawab Ira.
Bian mengerutkan keningnya. “Yah, aku kan masih kangen,” keluh Bian.
“Ya udah, kalau masih kangen ikut aja ke Jakarta!” ajak Ira.
Sontak saja Bian langsung menyetujuinya. “Oh, oke kalau begitu. Ayo kita ke Jakarta!” ajak Bian. Ia pun langsung duduk dan hendak melepaskan infusan yang terpasang di tangannya.
“Eh! Kamu jangan sembarangan, Bi!” ucap Ira, kaget.
“Kenapa?” tanya Bian, santai.
“Ngapain kamu mau ke Jakarta segala? Kamu itu kan lagi sakit. Lagian kamu ke sini buat ngontrol kondisimu. Masa malah mau ke Jakarta?” Ira protes.
“Aku ke sini cuma buat general check up dan aku sudah menjalankan semua rangkaiannya. So! Sebenarnya sekarang aku udah bisa pulang,” jawab Bian.
“Masa? Kalau udah bisa pulang, kenapa tangan kamu masih diinfus?” tanya Ira.
“Ini cuma infusan vitamin biar aku makin segar,” jawab Bian.
Ira memicingkan matanya. Kemudian ia berjalan ke arah kantung infusan, lalu mengecek keterangan yang ada di botol tersebut.
“Apa? Mau bilang aku bohong?” tanya Bian. Ia berani karena dirinya berkata jujur.
“Enggak, hehe,” sahut Ira.
‘Udah dibilang aku tuh gak apa-apa. Sebagai Komandan Angkatan Darat, aku udah biasa kok luka kayak gini. Jadi bukan hal yang perlu dikhawatirkan,” jelas Bian.
“Tapi tetep aja aku gak bisa biarin kamu pergi ke Jakarta. Nanti kamu kelelahan. Apalagi kan kamu harus balik lagi ke Timur,” jawab Ira.
“Kamu gak kangen sama aku?” tanya Bian.
“Ya kangen,” sahut Ira.
“Ya udah, kalau begitu ayo aku antar pulang ke Jakarta!” ajak Bian, bersemangat.
Sebenarnya ia ingin mengecek siapa pria yang makan siang dengan Ira, tadi.
“Bi! Aku mohon kamu jangan ngeyel, deh!” pinta Ira.
‘Oke, kalau begitu kamu yang nginep di sini!” pinta Bian.
“Ya gak bisa dong, Bi. Kan besok aku harus kerja. Nanti aku mau bilang apa sama orang tuaku kalau mereka nyariin?” tanya Ira.
“Ya bilang aja lagi nemenin calon suami!” sahut Bian, santai.
“Sembarangan!” ucap Bia, sambil menepuk lengan Bian.
“Kok sembarangan? Kan aku emang calon suami kamu,” sahut Bian.
“Ya tapi kan mereka belum tau.”
“Ya udah, tinggal kasih tau. Kalau perlu kita kenalan sekalian!” tantang Bian. Ia sudah siap jika harus berkenalan dengan keluarga Ira.
“Jangan! Nanti aja kalau kamu udah pulang,” sahut Ira, cepat. Ia belum siap untuk mengenalkan Bian pada Zein. Salah-salah nanti dirinya akan dimarahi oleh Zein karena dekat dengan tentara.
“Kamu kenapa sih? Kok kayaknya kamu gak mau ngenalin aku ke mereka?” tanya Bian.
“Bukan gak mau. Aku mau ngenalin kalau kamu udah di Jakarta. Keluarga aku tuh rempong. Nanti aku yang diintrogasi ini itu. Kalau kamu udah di Jakarta kan aku bisa buktiin ke mereka bahwa kamu itu serius,” jelas Ira.
Iya juga, sih. “Ya udah kalau begitu aku cuma mau nganter kamu ke Jakarta aja. Besok pagi aku bisa langsung pulang ke Timur dari Jakarta,” pinta Bian, memelas.
“Emang kamu beneran gak apa-apa?” tanya Ira. Ia masih mengkhawatirkan kondisi Bian.
“Beneran, Sayang. Gimana caranya supaya kamu percaya kalau suami kamu itu strong?” goda Bian.
Ira terkekeh. “Kamu nih malah keterusan. Nanti dikira kamu suami aku beneran, lho,” ucap Ira.
“Biarin. Bagus, dong! Jadi gak akan ada yang berani deketin kamu,” jawab Bian.
“Kamu tuh selalu bisa jawab. Aku sebel!” ucap Ira, pura-pura manyun.
“Oooh, kamu maunya punya suami yang bodoh, ya? Jadi bisa kamu kerjain, gitu?” tanya Bian.
“Ya gak gitu juga, sih. Justru kalau suaminya pinter, aku malah seneng. Jadi kan nanti kalau ada yang aku gak tau, bisa nanya ke kamu,” sahut Ira, malu-malu.
“Waduh, berat nih kayaknya. Soalnya dokter kan pengetahuannya luas. Berarti aku masih harus belajar lagi biar pengetahuanku lebih luas dari kamu,” canda Bian.
“Harus, dong! Meski istrimu bukan aku, kamu harus semangat buat belajar lagi, Sayang!” sahut Ira sambil menangkup sebelah pipi Bian.
“Tapi aku maunya cuma kamu yang jadi istriku,” jawab Bian sambil menatap mata Ira.
Ira tersenyum. “Ya udah, kita berdoa aja semoga berjodoh!”
Bian mengerutkan keningnya. “E’em! Bukan semoga, tapi harus berjodoh. Eh, jangan! Pasti berjodoh!” jawab Bian, memaksa.
“Dasar tukang maksa!” ucap Ira.
“Biarin. Yang dipaksa juga mau aja, kok,” ledek Bian.
“Sembarangan!” Ira jadi malu-malu. Ia ingat bahwa dirinya memang tidak pernah menolak.
“Sekarang mau dipaksa lagi, gak? Eh, tapi aku kan gak pernah maksa, ya? Orang kamu juga selalu nerima kalau aku mau ....” Bian sengaja menggantung ucapannya.
“Udah, deh! Ngomongnya jangan ke mana-mana!” ucap Ira, manja.
“Hehehe, bercanda, Sayang. Ya udah kamu tunggu sebentar! Aku mau panggil anak buahku dulu,” ucap Bian. Kemudian ia mengambil ponselnya dan mencari nomor kontak anak buahnya itu.
“Lho, mau ngapain?” tanya Ira.
“Kan aku mau nganterin kamu ke Jakarta, Sayang,” sahut Bian santai, tanpa menoleh.
![](https://img.wattpad.com/cover/311127211-288-k11423.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...