"Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya," ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.
"Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!" ucap Muh.
"Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya," ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.
Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. "Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke," ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.
Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. "Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas," ucapnya.
"Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan," ucap Zein, sambil menggoda anaknya.
Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua insan itu sempat menolak saat dijodohkan. Apalagi Intan yang butuh waktu lama untuk menerima Zein.
Sementara itu, Bian sudah sejak tadi berada di kamar. Ia sedang menyiapkan pakaiannya di bantu oleh Ira. Sejak di perjalanan pun Bian sudah berkomunikasi dengan atasannya.
"Jadi nanti titik pencariannya di mana, Bi?" tanya Ira.
"Di Belitung, Sayang. Jadi sekarang aku ke markas, setelah itu kami pergi ke Belitung menggunakan pesawat Hercules," jelas Bian.
"Jauh ya, Bi. Jadi gak bisa nyuri waktu buat ketemu, dong?" tanya Ira.
Bian yang sedang membereskan barangnya pun berhenti sejenak. "Sabar ya, Sayang. Doakan aku supaya cepat kembali," ucap Bian.
"Hemm! Ya udah, pokoknya nanti jangan lupa kabarin aku!" pinta Ira, manja.
"Siap!" sahut Bian.
Setelah selesai packing, Bian pun segera pamit pada mertuanya.
"Pah-Mah, aku pergi dulu. Titip Ira, ya," ucap Bian.
"Iya, Bi. Kamu hati-hati di sana, ya! Jangan sampai lengah! Jaga kesehatan," ucap Rani.
"Siap, Mah! Doakan semoga semuanya lancar!" pinta Bian.
"Pasti! Pokoknya kamu fokus saja dengan pekerjaanmu! Jangan memikirkan yang lain," ucap Muh.
"Mikirin aku gak boleh, Pah?" tanya Ira.
"Ya kalau lagi kerja, baiknya jangan, Sayang! Nanti Bian gak fokus, bisa bahaya. Masalahnya kan mau menyelam. Di dalam laut sana itu kan tidak boleh lengah," ucap Muh.
"Iya, aku cuma bercanda kok, Pah. Ya udah kami pergi dulu, ya," ujar Ira.
"Lho, kamu mau ke mana, Ra?" tanya Muh.
"Aku mau nganter Mas Bian ke Bandara, Pah."
"Iya, tadi udah aku larang. Tapi Ira tetep mau nganter. Papah tenang aja! Nanti ada Kiana yang jemput," ucap Bian.
Jika adiknya yang menjemput Ira, artinya ia akan didampingi oleh beberapa pengawal dan sopir.
"Terus mobil Ira gimana?" tanya Muh.
"Kami dijemput kok, Pah. Sepertinya sudah ada di depan," ucap Bian.
"Ooh gitu. Ya udah, hati-hati!" ucap Muh.
Bian dan Ira pun pergi.
"Nanti Kiana nunggu di sana. Saat aku menghadap ke atasan, kamu tunggu di mobil Kiana aja, ya!" pinta Bian.
Tugasnya kali ini bukanlah tugas khusus atau rahasia. Sehingga Ira bisa mengantarnya sampai ke bandara.
"Iya, Sayang," jawab Ira. Sepanjang perjalanan Ira merangkul lengan suaminya. Ia pun bersandar di bahu Bian. Seolah takut kehilangan suaminya itu.
"Untung tadi udah dapet bekal. Coba kalau kamu nolak terus, bisa pusing aku pergi dinas tanpa bekal," bisik Bian.
"Hehehe, iya," ucap Ira. Ia pun tak mengelak. Pasti akan sangat menyesal jika tadi dirinya tetap menolak Bian.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di markas besar. Saat melewati gerbang utama, begitu banyak penjaga yang memberi hormat kepada Bian.
"Itu dia mobil Kiki (Kiana), kamu tunggu di sana dulu, ya!" ucap Bian.
Sebagai anak Jenderal, Kiana bisa masuk ke markas itu. Apalagi pengawalnya pun merupakan anggota TNI.
"Iya, Bi," jawab Ira.
Bian dan Ira pun turun dari mobil dan menghampiri mobil Kiana di depan kantor Bian.
Ternyata di sana sudah banyak yang menunggu kedatangan Bian.
Setelah melapor pada atasannya, Bian pun meminta maaf dan menjelaskan mengapa dirinya terlambat.
"Iya saya paham. Justru saya yang minta maaf karena telah mengganggu bulan madu kalian," ucap atasan Bian.
"Siap! Tidak masalah, Pak!" sahut Bian.
Setelah mendapatkan suarat tugas, Bian pun meninggalkan markas, menuju ke bandara yang lokasinya tidak terlalu jauh dari markas tersebut.
"Sabar ya, Mbak! Risiko punya suami abdi negara emang gitu. Dulu Ibu aku juga serng ditinggal-tinggal sama Bapak. Malah Bapak pernah tugas ke negara berkonflik selama dua tahun. Gak pulang-pulang," cerita Kiana saat berada di jalan.
"Iya, Ki. InsyaaAllah aku sabar," jawab Ira.
"Mbak tenang aja! Mas Bian gak akan berani macem-macem. Kalau sampai itu terjadi, Bapak yang akan maju paling depan. Dia juga bisa dicopot dari jabatannya!" ucap Kiana.
"Kamu ngomong apa sih, Ki! Gak usah kejauhan. Siapa juga yang mau macam-macam," tegur Bian.
"Ya gak apa-apa, Bi. Dia kan cuma ngingetin aku," ucap Ira.
"Boro-boro mau macem-macem, mikirin kamu aja udah pusing. Baru nikah dua hari harus pisah," ucap Bian, memelas.
"Sabar, ya. Tetap semangat!" sahut Ira, sambil mengusap bahu Bian.
Setibanya di bandara, Ira ikut turun mengantar Bian sampai ke pintu masuk.
"Bi ... kalau malam kamu bakalan nyelam, gak?" tanya Ira, manja.
"Enggak dong, Sayang. Malam kan gelap. Paling kalau cuacanya bagus, kami melakukan pencarian dari atas menggunakan radar," jawab Bian.
"Syukurlah. Pokoknya jangan lupa kabari aku!" pinta Ira.
"Iya, Sayang. Kalau begitu aku pergi dulu, ya! Kamu jangan nakal! Ingat, aku bisa muncul kapan pun tanpa pemberitahuan!" ucap Bian.
"Iya, kamu juga! Awas aja kalau genit sama cewek!" ancam Ira.
"Genitnya sama kamu aja," bisik Bian. Setelah itu mereka berpelukan.
"I love you, Bi," ucap Ira sambil mendekap erat suaminya. Rasanya begitu berat melepas kepergian Bian.
"Love you more, Sayang," sahut Bian. Kemudian ia mengecup seluruh wajah Ira. Setelah itu perlahan mereka melepaskan pelukan. Kemudian Ira pun mencium tangan suaminya.
"Daahh!" ucap Bian sambil melambaikan tangan. Ia berjalan mundur, seolah tak rela jika tak melihat wajah istrinya.
Ira pun hanya berdiri pasrah. Sebab ia tidak mungkin membuntuti Bian lagi.
Namun, saat berada di pintu masuk, Bian langsung berlari ke arah Ira dan mencumbu bibir istrinya itu.
Sontak saja para anak buah Bian yang sejak tadi memperhatikan mereka diam-diam pun langsung bersorak. "Wuhuuu!" teriak mereka.
Mereka meledek satu sama lain sambil belingsatan, karena iri pada Bian yang sudah menikah itu.
Bian dan Ira terkejut. Mereka tidak sadar bahwa sejak tadi ada yang memperhatikan. "Awas kalian, ya!" ancam Bian, sambil tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
Roman d'amourIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...