Jantung Ira berdebar dengan sangat cepat. Momen ini adalah yang ia nantikan sejak setahun lalu. Ia tak menyangka ternyata akan menjadi kenyataan.
Ira sempat pasrah dan berpikir bahwa pernikahannya hanya sekadar khayalan. Sebab Bian sempat menghilang dalam waktu yang lama. Sehingga saat ini kebahagiaan Ira membuncah, luar biasa.
Jantungnya berdebar cepat, tubuhnya gemetar, tangannya keringat dingin. Bahkan ia sampai ingin buang air karena terlalu nervous.
"Semoga gak terlalu tegang kayak aku dan ijab kabulnya lancar," gumam Ira.
Ia khawatir Bian sama gugup dengan dirinya. Ia takut Bian tidak bisa mengucapkan kabul dengan benar.
Setelah penyambutan kehadiran mereka, kini ada pembacaan tilawah sebelum akad dimulai. Suaranya terdengar begitu merdu. Namun menambah ketegangan kedua mempelai tersebut.
Sebab, mendengarnya membuat mereka terharu. Entah mengapa ada rasa sedih yang menyeruak dari dalam diri mereka.
"Alhamdulillah, baiklah mari kita mulai akadnya!" ucap penghulu.
Deg!
Ira tercekat. Ia memasang telinga dan menyiapkan hati untuk mendengarkan suara papah dan calon suaminya tersebut. Beberapa kali Ira pun mengatur napas karena merasa sesak saking kencangnya debaran jantungnya.
Tak jauh berbeda dengan Ira. Sejak menginjakkan kaki di rumah gadis itu, Bian pun sangat gugup. Ia terlalu bahagia dan tidak sabar ingin segera sah dengan Ira.
Namun, ketika penghulu mengatakan bahwa ijab kabul siap dilaksanakan, seketika tubuh Bian gemetar. Entah mengapa ia yang pemberani itu nyalinya mendadak menciut. Padahal hal itulah yang selama ini ia nantikan.
Bian dan Muh berjabat tangan. Kemudian Muh mengenggamnya dengan erat, lalu mengucapkan kalimat ijab.
"Bismillah ... Fabian Malik Adnan, saya nikahkan engkau dengan anak saya, Khumaira Putri Muhammad dengan mas kawin seperangkat alat shalat serta satu unit rumah dibayar tu-nai!" ucap Muh.
Deg!
Bian yang sedang tegang itu terperanjat kala tangannya dihentak oleh Muh. Kemudian ia berusaha konsentrasi agar bisa menjawabnya. Sebelumnya Bian menarik napas panjang terlebih dahulu. Sedangkan Ira menahan napas.
"Saya terima nikahnya Khumaira Putri Muhammad binti Muhammad Ibnu Muammar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ucap Bian dengan lancar. Kemudian ia pun menahan napas karena belum ada kata 'sah'.
"Bagaimana saksi, Sah?" tanya penghulu.
"Sah!" sahut para saksi dan tamu yang hadir.
Sontak air mata kedua insan itu menetes. Mereka terharu karena perjuangan panjang mereka telah terbayarkan. Lika-liku hubungan yang mereka hadapi cukup berat. Beruntung kini indah pada waktunya.
Mereka dapat melihat Bian yang sedang menunduk itu menitikan air mata. Terutama Zein. Sejak awal ia memang memerhatikan Bian. Ia ingin tahu kesungguhan pria itu. Namun, melihat reaksi Bian saat ini, Zein jadi yakin bahwa pria itu memang mencintai adiknya.
Penghulu langsung membaca doa. Setelah itu MC memanggil Ira untuk keluar dan menghampiri Bian.
"Mempelai wanita dipersilakan untuk keluar," ucap MC, dengan suara formalnya.
"Ayo, Ra!" ajak Windy, sahabat Ira yang dulu pernah mengajaknya menangkap bunga.
Ira yang sedang menangis itu mengangguk. Sebelumnya ia memastikan bahwa make-up nya tidak luntur. Kemudian ia pun keluar dari kamar orang tuanya yang berada di lantai satu, menuju ke tempat akad nikah.
"Ini dia pengantin kita ...," ucap MC, menyambut kehadiran Ira di tempat tersebut.
Bian yang sedang menunduk pun langsung mengusap air matanya. Kemudian ia menoleh ke arah Ira.
Entah mengapa, saat melihat Ira justru rasa haru itu semakin menjadi. Saat ini gadis cantik itu sudah sah menjadi miliknya. Padahal beberapa bulan yang lalu ia sempat ragu bisa melanjutkan hubungan mereka.
Mereka berdua saling bertatapan, tersenyum dengan kondisi air mata yang tetap mengalir. Bahkan mereka tak mendengar apa yang sedang dikatakan oleh MC. Saat ini hanya ada rasa syukur dalam diri mereka karena telah dipersatukan oleh Yang Maha Kuasa.
Bian beranjak dari kursinya, kemudian ia menjemput Ira. hal itu pun membuat semua yang ada di sana bingung. Sebab sikap mereka tidak sesuai dengan arahan MC.
Terlebih ketika berada di hadapan Ira, Bian langsung hendak memeluknya.
"Tunggu dulu Mas Bian!" ucap MC, panik. Namun saat ini Bian dan Ira sudah terlanjur berpelukan.
Hal itu membuat Muh dan yang lainnya geleng-geleng kepala. "Dasar mereka ini!" gumam Muh.
"Akhirnya kamu jadi istri aku, Sayang," bisik Bian sambil berpelukan dengan Ira. Ia seolah takut dipisahkan lagi dengan kekasih hatinya itu.
"Komandan Bian! Harap dikondisikan!" ucap atasan Bian dengan suara yang cukup lantang. Ia malu dengan sikap anak buahnya itu. Namun ia pun sedikit bercanda.
Mendengar hal itu, Bian dan Ira baru tersadar. Mereka pun jadi malu. Padahal seharusnya namanya pengantin baru itu ada malu-malu.
Namun mereka berbeda dari pengantin lainnya. Mungkin karena sudah terpisah cukup lama. Sehingga sudah tidak bisa menahan rindu yang selama ini harus dipendam.
"Maaf, terbawa suasana," ucap Bian, malu-malu.
"Aduh, saya jadi bingung ini harus gimana, hehehe," canda MC. Harusnya sebelum berpelukan ada tahapan yang perlu mereka lakukan. Bahkan sebenarnya tidak ada pelukan di dalam tahapan tersebut.
Mereka semua pun terkekeh melihat tingkah dua pengantin yang tidak malu-malu itu. Namun kini pengantin tersebut jadi malu karena diledek.
Padahal tadinya mereka sudah terharu. Namun sikap Bian malah membuat suasana menjadi ambyar.
Akhirnya setelah itu barulah mereka melalui tahapan sesuai arahan MC. Kemudian Bian dan Ira menandatangani buku nikah, saling menyematkan cincin, lalu berfoto dan menerima ucapan selamat.
Setelah acara selesai, para tamu pun pamit. Termasuk keluarga Bian.
"Mau ganti baju dulu, Bi?" tanya Ira. Ia sudah terbiasa memanggil nama Bian secara langsung. Sehingga risih jika harus mengubahnya. Bian pun tidak keberatan meski dipanggil nama oleh Ira. Baginya 'Bi' adalah panggilan kesayangan Ira.
"Boleh," sahut Bian.
"Ya sudah, kalian ganti pakaian terus istirahat. Pasti lelah, kan?" ujar Muh.
"Iya, Pah," jawab Bian, cepat. Ia sudah tidak sabar ingin segera masuk ke kamar Ira.
"Dasar, kamu ini!" Muh sebal karena menantunya itu tidak bisa menahan diri.
"Kalau begitu kami pamit ya, Pah-Mah," ucap Bian dan Ira.
Mereka berdua naik ke kamar Ira.
Ceklek!
"Masuk, Bi!" ajak Ira.
Bian pun membuntuti Ira masuk ke kamarnya. Saat itu mereka masih mengenakan baju penagntin.
Saat tiba di kamar Ira, Bian melihat-lihat kamar tersebut. Ternyata kamar itu telah dihias sedemikian rupa, layaknya kamar pengantin.
Bian tersenyum sambil menoleh ke arah Ira.
"Kenapa?" tanya Ira sambil mengerutkan keningnya.
Klek!
Bian yang masih berdiri di belakang pintu itu mengunci pintu tersebut. Kemudian ia mendekat ke arah Ira.
"Suasananya mendukung banget buat malam pertama, Sayang," bisik Bian. Kemudian ia langsung memeluk Ira dan mencumbunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...