"Iiih, kamu nih! Gak kasihan itu sama anaknya?" tanya Intan, sebal.
"Bukan gak kasihan, Sayang. Aydin kan ada Moma dan Popa-nya. Suster yang jaga juga ada. Gak apalah sesekali kita quality time berdua," pinta Zein. Ia tetap berusaha merayu istrinya agar mau.
"Kamu sayang sama Aydin gak, sih?" tanya Intan. Ia heran karena Zein tega meninggalkan anaknya.
"Sayang, dong. Tapi kan kamu tau sendiri, waktu itu aku 40 hari lebih puasa. Setelahnya udah beberapa bulan kita gak pernah bisa main lama karena selalu ada gangguan. Masa kamu tega sama aku? Kan aku juga pingin main yang serius," pinta Zein, memelas.
"Ya udah nanti aku pikirin lagi. Terus kalaupun kita jadi pergi, nanti mau bilang apa sama Mamah dan Papah?" tanya Intan. Ia masih berusaha mencari celah agar tidak perlu meninggalkan anaknya.
Sebagai seorang ibu, Intan tidak tega meninggalkan bayinya yang belum genap setahun itu. Ia yakin, jika memaksakan diri untuk pergi pun pasti tidak akan nyaman.
"Jujur aja! Mereka pasti ngerti, kok. Apalagi kalau Aydin sampe nginep di rumah mereka. Pasti pada seneng," ujar Zein, yakin. Ia tak sungkan dengan orang tuanya.
"Atur aja deh kalau begitu," sahut Intan. Ia tak tega untuk menolaknya. Akhirnya Intan pun pasrah, meski hatinya belum tenang.
"Asiiikk, gitu dong, Sayang. Terima kasih, ya. Siapa tau nanti kita bisa kasih adik lagi buat Aydin," gumam Zein, bersemangat.
Set!
Intan langsung menoleh ke arah Zein. "Enak aja! Aku aja masih berasa gimana sakitnya pas lahiran, kamu malah mau ngasih adik lagi. Nanti dulu, lah!" ucap Intan, kesal.
"Jangan gitu, dong! Kan aku juga ikut ngerasain ngidamnya," ucap Zein, bangga.
Jika melihat mereka saat ini, kondisinya sudah terbalik dengan sebelumnya. Dulu Zein yang galak pada Intan. Namun kini justru Intan yang galak pada suaminya yang bucin itu.
Di tempat lain, ada sepasang merpati yang sedang bersantai.
"Masih capek, Yank?" tanya Bian. Saat ini ia sedang rebahan di samping Ira.
"Pake ditanya. Gak merasa udah berbuat?" skak Ira, kesal.
"Hehehe, ya kan cuma mastiin, Sayang. Siapa tau capeknya udah hilang," sahut Bian, genit.
Ira langsung memicingkan matanya ke arah Bian. "Emang kenapa kalau capeknya hilang?" tanya Ira, kesal.
Ia curiga bahwa Bian ingin minta jatah lagi.
"Enggak apa-apa, kok. Kalau capeknya belum hilang, biar aku pijitin," ucap Bian, sambil memijat-mijat kaki Ira.
Mata Ira mendelik. "Ini bukan modus, kan?" tanyanya.
"Ya ampun, modus apaan sih, Yank? Kamu curigaan aja, sih?" sahut Bian.
"Ya, kali aja ini cuma akal-akalan kamu biar bisa begitu lagi. Emang kamu gak capek, apa?" tanya Ira.
"Enggak, tuh," jawab Bian, cepat.
Ira menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. "Nah kan! Ketauan kalau kamu tuh emang modus. Jawabnya aja cepet banget. Kayak gitu kok gak mau ngaku!" ucap Ira, gemas.
"Hehehe, namanya juga baru nemu harta karun. Jadi maunya ngegali terus, biar makin banyak dapetnya," ucap Bian, nakal.
Saat ini tubuhnya semakin merapat ke istrinya.
"Oh, kalau udah abis, kamu gak mau ngegali lagi?" tanya Ira.
"Mana mungkin bisa habis? Tiap digali kan pasti ada yang keluar. Jadi bakalan aku gali terus, hehehe." Bian tak mau kalah.
"Tapi kalau ternyata gak bisa digali lagi, gimana?" Ira pun sama.
Bian tak menjawabnya. Ia malah menatap mata istrinya itu.
"Kok diem?" tanya Ira.
Bian mengedip-ngedipkan matanya. Kemudian ia menarik tangan Ira. "Ada yang bangun," bisiknya.
Ira langsung melotot saat tangannya menyentuh sesuatu yang mengeras di bawah sana. "Iiih, kamu mah. Aku masih lemas, Bi," keluh Ira.
"Iya, aku tau. Tapi yang satu itu kayaknya gak bisa diajak kompromi, deh," sahut Bian, manja.
"Kamu tega sama aku, Bi?" Ira pun memelas.
"Harusnya aku yang nanya, lho," ujar Bian.
"Heh! Aku lho yang capek. Dari semalam, terus tadi pagi. Dan sekarang kamu mau minta lagi?" Ira pun protes.
"Hehehe, mau gimana lagi. Abisnya enak," jawab Bian sambil cengengesan.
"Iya enak. Tapi kalau terus-terusan mah capek. Emangnya gak pake tenaga? Besok aja, deh," pinta Ira.
"Masa besok, Yank? Nanti aku gak bisa tidur," keluh Bian.
"Terus?"
"Sore, deh!" Bian berusaha bernegosiasi.
Ira menggelengkan kepalanya. "Kalau gitu kita ambil jalan tengah! Malem aja. Deal!" ucap Ira. Ia meraih tangan Bian, kemudian menyalaminya.
"Dih, main deal-deal aja!" keluh Bian.
"Kalau mau, nanti malam. Kalau gak mau, gak usah!" sahut Ira. Kemudian ia langsung memunggungi Bian.
Ira tahu dirinya tidak boleh menolak permintaan suami. Namun saat ini ia masih sangat lelah. Sehingga tidak sanggup untuk melakukannya lagi.
"Iya, Sayang. Gitu aja ngambek, deh," rayu Bian sambil memeluk Ira dari belakang.
Ia pun tidak marah meski Ira menolaknya. Sebab ia mengerti bahwa saat ini Ira masih lelah.
"Bukan ngambek, aku cuma kesel aja kamu tuh kayak anak kecil lagi minta nen tau, gak. Mentang-mentang udah tau enaknya, minta terus-terusan dan maksa," sahut Ira. Ia kesal karena Bian telah membuat dirinya berdosa karena terpaksa menolak.
"Hehehe, emang iya, aku mau nen," canda Bian.
"Biii!" Ira pun akhirnya terkekeh. Sebab suaminya itu malah bercanda.
"Padahal waktu belum nikah kamu juga penasaran, kan? Kenapa pas udah nikah malah begini, ya?" tanya Bian.
"Ya penasaran, lah. Tapi kan sekarang udah tau rasanya. Ya udah. Kalau mau diulang juga nanti lagi. Bayi aja kalau nen kebayakan bisa gumoh," jelas Ira.
"Aku suka kalau gumoh," bisik Bian, nakal.
Ira pun semakin kesal. Akhirnya ia menarik tangan Bian dan menggigitnya. "Ngeseliiinnn!" gumam Ira sambil menggigit Bian.
"Adududuh, sakit, Sayang!" keluh Bian.
"Ya udah iya. Aku ngalah. Kalau gitu kita siapin buat bulan madu aja, yuk!" ajaknya.
Ira yang sedang memunggungi Bian pun langsung balik badan. "Emang mau bulan madu ke mana, Bi?" tanyanya.
"Kamu maunya ke mana?" Bian balik bertanya.
"Hem ... ke mana, ya? Gak usah jauh-jauh deh, di dalam negeri aja!" usul Ira.
"Boleh. Kamu ada ide, gak?" tanya Bian lagi.
"Yang pasti sih aku mau yang tempatnya sejuk dan hijau. Pokoknya aku pingin bebas dari hiruk pikuk kota," jawab Ira.
"Oohh, di perbatasan aja kalau gitu," canda Bian.
"Iiih, gak gitu juga, Bi! Aku ogah ke sana lagi, ah!" keluh Ira. Ia tidak ingin ke sana lagi karena di sana serba sulit. Selama Ira di sana pun ia tak melihat ada penginapan yang bagus.
"Kenapa? Kan lumayan bisa numpang di rumah dinas yang kosong," tanya Bian sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...