50. Bawa ke KUA

8.3K 768 32
                                    

Ira gelagapan saat ditanya seperti itu. Sedangkan Bian penasaran karena ia tidak tahu orang tua dan kakak Ira ada di rumah sakit tersebut.

“Eum ... papah aku ada di sana. Nanti kalau dia lihat kan bisa panjang urusannya,” jawab Ira, jujur. Namun ia tidak terbuka sepenuhnya.

“Oh, papah kamu dokter juga?” tanya Bian.

“He’em,” sahut Ira. ‘Gue gak bohong, kan? Papah emang dokter,’ batin Ira. Meski begitu Ira tetap tidak ingin berbohong.

“Ooh, ya udah kalau begitu. Sekarang aku anter kamu sampe depan rumah aja. Nanti aku biar pulang naik taksi,” ucap Bian. Ia masih berusaha ingin mengetahui tentang Ira lebih banyak.

“Dari rumah aku ke jalanan lumayan jauh. Nanti kamu turun di jalan aja, biar gak repot bolak-balik, ya?” tanya Ira. Ira pun terus berusaha mengindarinya.

Melihat Ira yang selalu menghindar, membuat Bian tidak nyaman. Ia jadi khawatir bahwa Ira tidak serius dengannya. ‘Sebenarnya apa yang sedang dia sembunyikan dariku?’ batin Bian.

‘Ah elah, Bang Zein, sih. Aku jadi serba salah gini. Bian pasti kecewa, deh,’ batin Ira.

Ia jadi kesal pada Zein karena dirinya jadi harus main petak umpet dengan Bian. Padahal jika tidak seperti itu mungkin Ira akan dengan senang hati mengenalkan Bian pada keluarganya.

“Ya udah kalau begitu aku turun di depan kompleks kamu aja, ya?” tanya Bian. Ia tidak ingin membiarkan Ira pulang sendirian. Setidaknya jika dirinya turun di depan kompleks, Bian tidak terlalu khawatir.

“Iyah,” sahut Ira, terpaksa.

Sebenarnya ia masih takut. Namun Ira tidak enak hati untuk menolaknya lagi. Akhirnya ia pun setuju.

‘Semoga gak ada yang lihat Bian turun dari mobil aku. Kalau enggak kan bisa bahaya,’ bagin Ira.

Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di depan komplek. Bian menepikan mobil Ira dan hendak turun. Namun Bian tidak langsung turun begitu saja.

“Berarti setelah ini kita gak ketemu lama lagi dong?” tanya Bian, memelas.

“Dua bulan lagi. Syukur-syukur sih kamu bisa pulang lebih awal,” sahut Ira. Ia pun terlihat berat melepas Bian.

“Kalau bisa sih bukan cuma pulang lebih awal. Tapi aku gak usah balik lagi ke sana. Hehehe.”

“Ah, kamu mah bikin aku berharap aja!” ucap Ira, manja.

Bian menggenggam tangan Ira. “Sayang,” ucapnya, sambil menatap Ira.

“Iyah?” tanya Ira. Jantungnya berdebar-debar. Ia sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan oleh Bian.

“Aku cinta kamu. Kamu mau nunggu aku, kan?” tanya Bian.

Ira mengangguk. “Aku juga cinta kamu, Bi. Aku pasti nunggu kamu dan kamu gak boleh ingkar janji!” pinta Ira.

“Siap! Kalau begitu kasih aku sun perpisahan dulu, dong!” pinta Bian, sambil menunjuk pipinya.

Ira yang merasa mereka akan berpisah dan saling merindukan pun tak protes. Ia langsung mendekatkan bibirnya ke pipi Bian.

Namun, saat bibirnya hendak mendarat di pipi Bian, pria itu langsung menoleh. Hingga akhirnya bibir mereka bertemu.

“Maaf, aku khilaf lagi,” ucap Bian, tanpa melepaskan bibirnya. Setelah itu ia memegangi tengkuk Ira dan mencumbunya dengan begitu mesra.

Ira pun tak menolak, ia memang merindukan pria itu. Sehingga Ira senang melakukannya.

“Jangan nakal!” bisik Bian setelah melepaskan tautannya. Sambil menatap mata Ira dengan bola mata yang bergerak-gerak secara perlahan.

Ira mengangguk. “Kamu juga,” sahutnya.

Setelah itu, Bian yang seolah tidak rela melepaskan Ira pun kembali mendaratkan bibirnya di bibir Ira. Namun kali ini ia hanya melakukan kecupan mesra yang begitu lembut.

“Hem ... kalau begini aku jadi makin berat buat ninggalin kamu,” ucap Bian. Lalu ia memeluk Ira.

“Kamu, sih!” tegur Ira. Ia pun membalas pelukan Bian.

“Ya abisnya gimana. Aku kangen banget sama kamu,” sahut Bian, gemas. Ia mengendus-endus aroma rambut Ira. Supaya bisa mengingat aroma calon istrinya itu.

Meski sudah beraktivitas seharian, tetapi Ira masih tetap harum. Sebab parfume yang ia pakai merupakan parfume bermerek yang harganya mahal.

Belum lagi perawatan rambut dan tubuh Ira yang memang spesial. Sehingga aroma khas-nya masih melekat, tanpa ada aroma keringat sedikit pun.

Mereka berpelukan dalam waktu yang cukup lama.

“Maaf ya besok aku gak bisa anter kamu ke bandara,” ucap Ira, menyesal. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Bian.

“Gak apa-apa. Kamu kan baru masuk kerja, gak mungkin bolos,” sahut Bian. Ia belum tahu bahwa rumah sakit itu adalah milik papah Ira. Sehingga Bian pikir Ira hanya pegawai di sana.

“Ya udah, kamu hati-hati di jalan! Kalau udah sampe rumah, kabarin aku, ya! Terus besok kalau udah sampe di perbatasan juga kabarin aku! Jangan sampe gak ada kabar, nanti aku khawatir!” pinta Ira.

Bian tersenyum. Ia senang melihat Ira cerewet seperti itu. “Siap!” sahutnya.

Ira pun melepaskan pelukannya. “Oh iya, satu lagi. Kalau ada cewek genit, kamu tuh jangan diem aja, dong! Menghindar, kek, atau apa gitu.” Ira protes. Ia mengingat kejadian di bandara tadi.

“Iya, kalau aku sadar pasti menghindar, kok. Tadi kan aku gak sadar karena sibuk mikirin kamu. Kamu juga, tuh! Jangan terlalu deket sama dokter itu. Aku gak suka!” balas Bian, sambil tersenyum.

“Bi, dokter itu gak ada apa-apanya dibandingin kamu. Cuma kamu yang bisa bikin hati aku berdebar. Jadi kamu gak perlu merasa khawatir!” ucap Ira, jujur.

“Duh ... aku kok berasa lagi digombalin, ya? Sayangnya aku seneng banget dengernya,” ucap Bian, sambil tersenyum malu-malu.

“Aku gak gombal, lho. Aku serius, Bi. Mungkin di luar sana banyak cowok ganteng, tapi hati aku cuma bereaksi sama kamu. Kan percuma ganteng juga kalau gak bikin hati aku berdebar. Jadi aku gak ada rasa selain sama kamu.”

Bian menyipitkan matanya. “Udah, cukup! Kalau kamu lanjut, bisa-bisa aku bawa kamu ke KUA sekarang juga, nih,” ancam Bian, gemas.

“Jam segini mah KUA juga tutup kali, Bi,” sahut Ira.

“Kan bisa tunggu sampe buka besok pagi,” sahut Bian.

“Hehehe, dasar!” Ira terkekeh dibuatnya.

Saat mereka masih berat untuk berpisah, tiba-tiba kaca jendela mobil Ira ada yang mengetuk.

Tuk! Tuk! Tuk!

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang