Mereka pun melanjutkan jalannya menuju ke atas bukit. “Hati-hati!” ucap Bian sambil bersiaga, barang kali Ira akan terpeleset lagi.
“Iyah. Masih jauh gak?” tanya Ira.
“Enggak, kok. Nanti di ujung sana, kita tinggal jalan lurus, udah gak perlu nanjak lagi. Gubuknya juga pasti kelihatan,” jawab Bian.
“Ooh.”
Setelah itu mereka pun hening kembali. Hanya terdengar suara napas yang ngos-ngosan karena kelelahan menanjak.
“Cakep, ya?” tanya Bian.
“Hah?”
“Capek. Kamu capek, gak?” Bian langsung meralatnya.
“Oh, iya lumayanlah. Namanya juga manjat bukit,” jawab Ira.
Namun kemudian mereka merasa ada yang aneh. Kata ‘memanjat bukit’ memiliki konotasi yang lain jika diucapkan oleh orang dewasa.
“Oh iya, hehe,” ucap Bian, kikuk. Otaknya mendadak kotor gara-gara kalimat Ira barusan.
‘Apa aku salah bicara, ya? Ini beneran memanjat bukit, kan?’ batinnya.
“Nah, itu dia gubuknya!” ucap Bian. Ia lega karena sudah tiba di atas bukit tersebut.
“Alhamdulillah, akhirnya nyampe juga,” ucap Ira. Ia pun senang karena kakinya sudah lelah.
“Kok di sini bisa ada gubuk, sih? Siapa yang bangun?” tanya Bian.
“Ini gubuk baru. Sekitar satu setengah tahun lalu aku dan yang lain membangunnya. Kami gotong royong membawa material kayu itu dari bawah. Gubuk ini dibuat untuk siapa pun yang sedang main di bukit dan ingin beristirahat sejenak,” jelas Bian.
“Wahh, kerena banget. Aku aja cuma bawa badan udah capek. Apalagi kalau harus bawa material bangunan kayak gitu,” puji Ira. Ia tidak dapat membayangkan betapa lelahnya bolak balik membawa material itu.
“Gak usah heran! Kami kan kuat-kuat. Cuma gitu doang mah kecil,” sahut Bian, bangga.
“Hehehe, iya deh yang kuat,” ledek Ira.
Bian jadi malu dibuatnya.
“Om Komandan!” pekik Lica dari kejauhan. Ia sangat senang melihat Bian dan Ira datang ke sana.
“Hai!” sahut Bian sambil melambaikan tangannya.
Ira pun tersenyum melihat kegembiraan anak-anak itu. Lica dan yang lainnya berlarian menyambut mereka. Kemudian Bian pun mendekat ke arah mereka, lalu ia berjongkok dan berpelukan dengan mereka.
“Kami sangat rindu Om Komandan,” ucap mereka.
“Om juga rindu kalian. Maaf ya Om baru sempat datang ke sini,” jawab Bian.
Bian pun menoleh ke arah Ira. “Kenalkan, ini teman Om. Namanya dokter Ira,” ucap Bian.
“Hai Tante dokter cantik,” sapa mereka. Mereka senang melihat Bian datang bersama Ira. Apalagi Ira begitu cantik.
“Hai ... kalian apa kabar?” sapa Ira, ramah.
“Kabar baik, Tante,” sahut mereka. Mereka pun berpelukan dengan Ira satu per satu. Itulah cara mereka menyapa seseorang.
“Om bawa sesuatu untuk kalian. Ayo!” ajak Bian.
Mereka pun berlarian menuju gubuk. Ira begitu senang melihat anak-anak kecil itu antusias. Ia pun sesekali menoleh ke arah Bian. ‘Ternyata dia penyayang anak-anak. Cocok banget kalau jadi ayah,’ batin Ira, tanpa sadar.
Tiba di gubuk, Bian membongkar ransel yang ia bawa. “Om bawa buku dan pakaian untuk kalian. Siapa yang mau?” tanya Bian.
“Saya! Saya! Saya!” ucap mereka semua sambil melompat-lompat.
![](https://img.wattpad.com/cover/311127211-288-k11423.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomansaIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...