80. Merajuk

8K 655 17
                                    

Bian terkekeh. "Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya," ucap Bian.

"Oke, hati-hati!" sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.

Akhirnya mereka pun pergi.

"Sayang, mau beli camilan dulu, gak?" tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.

"Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!" jawab ira.

"Siap!" sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.

"Beli di situ aja ya, Yank?" tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.

"Ya udah, ada parkirannya, kan?" sahut Ira.

"Ada, tuh!" jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.

"Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?" tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.

"Aku nunggu aja, deh," sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.

"Ya udah, mau beli apa?" tanya Bian.

"Apa aja, yang penting snack sama minumannya, ya. Tapi aku mau air mineral sama yoghurt aja minumannya," jawab Ira.

"Oke," sahut Bian, kemudian ia turun dari mobil.

Bian pun masuk ke minimarket tersebut, kemudian ia mengambil keranjang dan memilih beberapa camilan.

Ira dapat melihat Bian dari mobil, sebab posisi mobil menghadap ke arah minimarket dan Bian yang tinggi itu terlihat jelas dari dinding kaca toko tersebut. Ia pun tersenyum karena suaminya itu terlihat begitu tampan dan gagah.

"Suaminya siapa sih itu? Ganteng banget," gumam Ira. Ia jadi bangga sendiri bisa memiliki suami seperti Bian. Apalagi ketika mengingat bagaimana perjuangan hubungan mereka yang penuh liku-liku.

"Ya Allah, semoga kedepannya hubungan kami lancar. Izinkan aku untuk menghabiskan sisa hidupku hanya dengan dirinya. Aamiin," doa Ira.

Awalnya Ira santai, tetapi ia mengerutkan keningnya saat melihat ada seorang wanita berseragam loreng menghampiri Bian.

"Eh, siapa tuh?" gumam Ira. Ia yang sedang santai pun langsung duduk tegak. Awalnya Ira berharap itu hanya anak buah atau rekan kerja Bian yang menyapanya. Namun obrolan mereka terlihat cukup lama.

"Siapa, sih? Baru juga doa, kenapa sekarang udah ada serangga pengganggu?' tanya Ira, kesal.

Berhubung Bian masih asik berbincang dengan wanita itu, Ira pun bergegas turun dari mobil. Tak lupa ia mematikan mesin mobil dan menguncinya.

'Awas kalau kamu macam-macam ya, Bi,' batin Ira. Ia terlihat begitu emosional.

Ia pun masuk ke minimarket, kemudian langsung menghampiri Bian. Ia tak ingin suaminya semakin lupa diri jika dibiarkan begitu saja.

"Udah belum?" tanya Ira tanpa basa-basi. Wajahnya terlihat datar.

Bian langsung menoleh. Ia hampir lupa bahwa ada istrinya menunggu di mobil. "Eh iya, Sayang," ucap Bian.

"Siapa, Bi?" tanya wanita itu. Ia melirik sinis ke arah Ira.

'Sialan! Harusnya gue yang nanya dia siapa. Minta dijambak ni cewek,' batin Ira. Wajahnya terlihat begitu kesal.

'Yah, ngambek deh ini mah,' gumam Bian dalam hati. Ia dapat melihat jelas kekesalan di wajah Ira.

"Kenalin, ini istri aku. Namanya Ira," sahut Bian, kikuk. Bukan tidak enak hati, Bian hanya takut Ira marah. Ia sendiri tidak peduli dengan perasaan wanita itu.

"Oh! Kamu udah nikah? Kok gak ngundang-ngundang, sih?" tanya wanita itu. Ia tak menghiraukan Ira.

Ira pun kesal dibuatnya. "Aku tunggu di mobil!" ucap Ira, sambil berlalu. Sebenarnya sikap Ira seperti itu merupakan sebuah ancaman bagi Bian. Jika wanita tadi bisa bersikap lebih ramah pada Ira, mungkin Ira tidak akan terlalu kesal seperti itu.

"Iya, Sayang," sahut Bian, salah tingkah.

"Istri kamu jutek banget, sih?" tanya wanita itu. Tanpa ragu ia menjelekkan Ira di depan Bian. Sebab ia pikir Bian akan setuju dengan pendapatnya.

"Wajarlah, namanya juga lihat suami sama cewek asing. Apalagi kamu juga nyuekin dia. Padahal tadi aku berusaha ngenalin kalian. Mungkin kamu juga akan melakukan hal yang sama kalau ada di posisi istri aku," skak Bian.

Ia tidak ingin istrinya dipandang sebelah mata oleh orang lain. Sehingga Bian berusaha membelanya. Ia paham mengapa Ira seperti itu.

Wanita itu pun terkejut mendengar jawaban Bian. Ia tak menyangka Bian akan berani mengatakan hal seperti itu. "Kayaknya kamu cinta banget sama dia, ya? Apa masih sama kayak hubungan kita dulu?" tanya wanita itu.

Bian mengerutkan keningnya. "Hubungan apa? Jelas aku cinta, kalau gak cinta, mana mungkin aku nikahin dia. Ya udah kalau begitu aku duluan, ya," sahut Bian. Ia pun langsung berlalu.

Bian bergegas membayar belanjaannya, kemudian menyusul Ira ke mobil. Ia tidak ingin Ira semakin marah jika dirinya terlalu lama di sana.

Wanita itu adalah orang yang pernah Bian sukai. Dulu Bian berusaha mendekatinya, tetapi wanita itu selalu jual mahal. Mereka belum sempat menjalin hubungan.

Namun perjuangan Bian untuk mendapatkan hatinya, membuat wanita itu merasa bahwa Bian sangat mencintainya. Bahkan ia yakin sampai saat ini Bian masih menaruh hati padanya. Padahal Bian sendiri sudah lama melupakan hal itu.

Tadi Bian meladeni wanita itu karena membahas masalah pekerjaan. Sebagai sesama aparat negara, perbincangan mereka sangat singkron, sehingga Bian sempat lupa waktu.

'Huuh!

Bian mengatur napas sebelum masuk ke mobil. Ia sangat khawatir Ira marah padanya dan membatalkan rencana mereka.

"Sayang, ini snacknya mau disimpan di mana?" tanya Bian saat membuka pintu mobilnya.

"Belakang!" jawab Ira, singkat. Wajahnya terlihat kesal.

"Oh, ya udah aku simpan di jok tengah aja, ya?" tanya Bian, kikuk. Ia salah tingkah karena sadar istrinya sedang marah.

Ira tak menjawabnya.

Bian pun menaruh belanjaannya di jok tengah, kemudian masuk ke tempat duduknya.

Bian tidak berani menanyakan apa pun pada Ira. Ia langsung mengemudikan mobilnya, meninggalkan tempat tersebut.

'Yah, masa mau bulan madu suasananya malah horor begini, sih?' batin Bian.

"Siapa tadi?" tanya Ira.

Suara Ira membuat Bian sedikit terkejut. "Heuh? Oh itu, temen lama. Dulu pernah satu divisi sama dia," jawab Bian. Ia berusaha santai agar Ira tak curiga.

"Temen apa temen?" tanya Ira lagi.

"Temen, Yank. Kenapa, kamu cemburu?" canda Bian.

Ia yakin dirinya tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita itu. Sehingga Bian tidak merasa bersalah meski mengatakan hanya teman.

Ira langsung memicingkan matanya ke arah Bian. "Gak usah nethink! Ini bukan masalah cemburu apa enggak. Tapi sebagai istri, aku merasa gak dihargai sama sekali. Paham!" skak Ira, kesal.

Bian menggaruk tengkuknya. 'Duh, gimana, nih?' batin Bian.

"Aku sama sekali gak bermaksud begitu, Sayang. Tadi kan ada yang nyapa, gak enak kalau dicuekin," jelas Bian.

"Aku gak nyuruh kamu nyuekin dia, kok. Tapi kan harusnya kamu bisa lebih tegas. Maaf, ya. Mungkin kalau sikap cewek itu tadi gak nyebelin, aku gak mungkin sekesel ini. Tapi kamu bisa lihat sendiri, kan?"

Ira semakin kesal jika mengingat bagaimana tatapan wanita itu terhadapnya.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang