"Waduh, gimana ini?" tanya Ira. Ini kali pertama Ira menghadapi situasi seperti itu. Sehingga ia cukup panik dan ketakutan.
"Ayo kabur!" ajak Lica. Ia langsung menarik tangan Ira dan Bian.
Akhirnya Ira dan Bian refleks mengikuti Lica. Mereka sadar tidak mungkin menghadapi orang yang membawa parang hanya dengan tangan kosong. Apalagi orang tersebut sedang marah.
"Ke sini!" ajak Lica. Ia ingin membawa Bian ke markasnya melalui jalan pintas. Sebagai pribumi, Lica sudah hafal betul wilayah tersebut.
Bian menoleh ke belakang. Orang itu pun semakin dekat.
"Ikuti aku!" ajak Bian.
Bukan pengecut. Jika hanya sendiri, mungkin bisa saja Bian nekat. Namun saat ini ada Ira. Ia khawatir Ira akan terluka oleh orang tersebut.
Ia mengajak Ira dan Lica untuk bersembunyi ke tempat rahasianya. Tempat itu tertutupi oleh rumput. Sehingga orang awam tidak akan mengetahuinya.
"Ssstt! Kita sembunyi di sini," ucap Bian. Ia tahu Ira tidak biasa berlari. Sehingga ia khawatir Ira akan kelelahan jika harus berlari dalam jarak yang jauh.
Mereka berusaha mengatur napas sepelan mungkin. Posisi tempat bersembunyi yang cukup sempit membuat mereka harus berdempetan.
Kondisinya cukup gelap. Sehingga Ira tidak sadar bahwa yang ada di sampingnya adalah Bian.
Bentuk tempat bersembunyi mereka seperti sebuah batu besar. Membuat mereka terpaksa harus berjongkok karena tingginya tidak setinggi tubuh Ira dan Bian.
"Mana orangnya?" pekik bapak yang membawa parang itu. Ia sedang mabuk. Sehingga berani mengejar Bian.
"Tadi mereka berlari ke sini, Bapak," ucap anaknya.
Bian yang masih menggenggam tangan Ira itu dapat merasakan getaran. Ia pun menoleh ke arah Ira. Sehingga wajah mereka hanya berjarak beberapa centi.
"Jangan khawatir! Mereka tidak akan mengetahui tempat ini," bisik Bian.
Deg!
Ira menelan salivanya kala merasakan embusan napas Bian. Ia bahkan bahkan dapat merasakan gerakan bibir Bian yang hampir menyentuh bibirnya.
Bian pun menelan saliva. Ia baru sadar bahwa wajah Ira tepat berada di wajahnya. Mereka yang sedang bersembunyi itu jadi salah tingkah.
"Sepertinya mereka sudah pergi," ucap Lica.
Beruntung kondisi di dalam sana sangat gelap. Hanya ada dua titik lubang untuk mengintip ke luar. Namun lubang tersebut terhalang oleh rumput. Sehingga cahaya tidak masuk melalui celah tersebut.
"Ayo kita keluar!" ajak Bian. Ia tidak tahan berdekatan dengan Ira terlalu lama. Bian mengangkat penutupnya. Kemudian mereka keluar satu per satu.
"Aman, Om!" ucap Lica. Ia yakin mereka semua sudah pergi.
"Huuh! Syukurlah," ucap Bian sambil menoleh ke arah Ira.
Namun mengingat kekonyolan tadi, akhirnya mereka tertawa.
"Hahaha, kamu kenapa lari? Aku kira kamu berani," tanya Ira. Ia berusaha mencairkan suasana dan pura-pura tidak terjadi sesuatu di antara merek.
"Lho, aku kan takut kamu terluka. Kalau bawa pistol, sudah pasti tadi aku hadapi dia," jawab Bian, yakin.
Lica tersenyum melihat mereka.
"Tante! Bapak itu sedang mabuk. Dia bisa melakukan apa saja tanpa memikirkan nyawa orang lain," ucap Lica.
"Oya?" Ira tidak menyangka akan separah itu. Ia pikir akan selesai hanya dengan dibicarakan secara baik-baik.
"Terus kalau nanti dia datang lagi gimana, dong?" tanya Ira. Ia jadi khawatir pada Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komandan Tampanku
RomanceIra yang merupakan seorang dokter dijodohkan dengan Bian yang merupakan komandan angkatan darat. Namun pertemuan pertama mereka kurang baik, sehingga Ira dan Bian saling membenci satu sama lain. Ira sengaja dikirim ke perbatasan oleh papahnya agar b...