03. Bian Sakit

15.9K 987 21
                                    

Meski sadar bahwa Intan sudah menikah. Namun Bian tidak terima jika Intan digantikan oleh dokter seperti Ira.

Ia tidak sadar bahwa Ira adalah wanita yang telah menerima bucket bunga yang ia lempar tempo hari. Malam itu penampilan Ira berbeda dengan sekarang. Sebab saat ini Ira tidak memakai riasan apa pun. Sehingga wajahnya sangat natural.

Bian pun berlalu begitu saja. Ia hendak kembali ke markas karena ingin melampiaskan emosinya dengan cara berolah raga.

Sementara itu Ira baru saja tiba di rumah dinas yang akan ia tempati.

Tuk! Tuk! Tuk!

Ira mengetuk pintu rumah yang sangat sederhana itu.

Tak lama kemudian, pintunya pun terbuka.

Ceklek!

“Hem … ini dia, nih! Cakep, ya … ngorbanin adik sendiri buat tinggal di perbatasan. Kakak macam apa, Anda?” Ira langsung menyambar.

Sementara itu, Zein yang membuka pintu masih terkejut dengan kedatangan Ira. Namun melihat reaksi Ira, ia dapat menebak bahwa adiknya itu datang ke perbatasan untuk menggantikan istrinya.

“Kok kamu ada di sini?” tanya Zein sambil tersenyum lebar.

Melihat kakanya tersenyum, Ira semakin kesal. “Seneng banget ya, Bang? Lihat adiknya menderita,” ucap Ira, kesal.

“Hehehe, senenglah. Yang penting kan istriku bisa pulang dan kami gak LDM-an lagi,” jawab Zein.

Hidung Ira kembang kempis. Ia semakin kesal pada kakaknya itu. “Oke, kalau begitu aku telepon papah sekarang biar semuanya batal. Aku gak mau nolongin kalian lagi!” ancam Ira sambil mengambil ponselnya.

Zein pun panik. Ia langsung mengambil ponsel Ira dan mengajaknya masuk. “Udah, jangan ambekan begitu, ah! Mendingan kita masuk dulu, yuk!” ajak Zein.

“Gitu kek dari tadi! Adiknya datang dari jauh bukan disambut malah dibikin kesel,” ucap Ira sambil berjalan masuk dan duduk di ruang tamu.

Zein menarik koper Ira, lalu ia pun duduk di sebelah istrinya lagi.

“Ra, kamu jangan mual, ya,” ucap Zein.

Ira mengerutkan keningnya. “Why?” tanyanya.

Zein tersenyum. Kemudian ia menyuapi istrinya itu menggunakan tangannya sendiri.

Bola mata Ira langsung memutar dan ia memalingkan wajah. “Huweekk!” Ira pura-pura muntah karena kesal melihat keromantisan kakaknya itu. “Jijaaayy!” ucapnya.

“Hehehe, kan udah aku kasih peringatan, tadi,” ucap Zein.

“Oh iya. Ngapain tadi kamu boikot helikopter yang aku pesen? Ngeselin banget sih jadi orang?” Ira protes.

“Oh, itu heli pesanan kamu? Ya maaf, namanya juga lagi buru-buru,” sahut Zein, santai.

Ira mengambil bantal dan langsung memukuli Zein. “Hiiihh! Nyebelin banget, sih. Harusnya kamu tuh jangan begitu dong, Bang! Padahal kan bisa kita naik berdua. Dasar, rese!”

“Ya mana aku tau? Lagian kamu juga datangnya lama. Yang penting sekarang udah nyampe sini, kan?”

Ira geleng-geleng kepala karena melihat kelakukan abangnya itu. Mereka pun berbincang, sambil sharing mengenai tinggal di perbatasan.

Malam hari, Zein dan Intan sudah pamit. Mereka hendak pulang ke Jakarta. Sebab sudah ada Ira yang menggantikan Intan di sana.

“Duh, sepi banget, ya. Apa gue betah tinggal di tempat kayak gini dalam waktu yang lama?” gumam Ira.

Komandan TampankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang